Mukadimah

Wilayah Aba-aba Abu-abu

 

 

Sebaiknya jangan meremehkan setiap kata. Aba-aba! Abu-abu, wilayah. Mungkin pula kata-kata lainnya, kita anggap biasa saja, sebagaimana –atau sudah begitu adanya: dan pada akhirnya ia atau mereka luput dari dialektika berpikir kita (yang seyogianya berkesadaran Ilahi). Tak jarang, dalam hidup kita di dunia [yang] ini, banyak kata yang dipergunakan tidak dengan tanggung jawab syarat-rukun yang seharusnya. Termasuk kata-kata yang diinformasikan Tuhan langsung melalui Kitab Suci literer-Nya, banyak yang disembelih, dikebiri, dipersempit sebagai kotak, lingkaran, label, branding, identitas kelompok-kelompok umat tertentu dan sebagainya. Bukankah berkesadaran Ilahi itulah yang diinginkan Tuhan melalui siklus innalillahi wa inna ilaihi raji’un? Bukankah pula kita diadakan, diselenggarakan, diperjalankan sebagai khalifah dengan manajemen fungsional rahmatan lil ‘alamin?

Kita hidup di ‘rimba raya’ zaman peradaban modernisme, kapitalisme (global), dan hedonisme. Semakin modern manusia, ia lantas menertawakan dan mengutuk habis ‘hukum rimba’, sembari menciptakan aturan-aturan, patokan-patokan, lalu lintas hukum yang tak kalah rimbanya. Macan, harimau, singa dan predator-predator lainnya disebut ‘buas’, ‘pemangsa’, hanya oleh manusia. Sementara kata ‘buas’ tidak manusia pergunakan untuk menyebut terhadap sesama mereka yang mengeruk hasil bumi secara serakah, merusak hutan, dan lain-lain –bahkan para pemangsa harta, nyawa dan martabat kemanusiaan mereka sendiri.

Tidakkah seekor macan itu muslim: patuh, taat, setia terhadap kosmologi peran yang diberikan Allah? Ia istiqamah, konsisten untuk memakan ‘mangsa’nya, dan tak sepanjang waktu ia melampiaskan syahwatnya pada makanan. Bukankah ia mengenal ‘puasa’, jeda, me-ngerem alias tak melulu nge-ngas? Pahamlah betul ia mengenai walayah atau wilayah peran dari Pencipta-Nya.

Bukankah macan, hutan rimba dan semua yang ada di cakrawala ini adalah ‘aba-aba’? Aba-aba, perintah, peringatan, ayat, petunjuk, perumpamaan (amstal) dan seterusnya! Allah tak segan-segan, misalnya, membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil darinya (QS. al-Baqarah: 26). Bukankah ‘amanat’ membaca amtsal, aba-aba dan seterusnya itu merupakan tugas dan kewajiban kita? Bacalah, tentu saja harus bismi Rabbika.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana membaca, men-tadabburi segala aba-aba Tuhan itu tatkala sudah berada di tangan para khalifah-Nya: dalam hal ini manusia? Menjadi gaduh, riuh-rendahlah nyanyian gerak sejarah berkeumatan kita. Bahwa wilayah aba-aba itu, disakralkan, di-tabu-kan dengan klaim: “Tak sembarang orang boleh memasukinya!” Sembarang orangkah kita, atau kita orang sembarangan? Siapa yang tak sembarang orang? Memang kita siapa di mata-Nya? Di antara awam seperti kita, siapa yang tak nyinyir, misal, ketika mendengar bahwa syarat-syarat untuk menafsirkan Al-Quran haruslah menguasai berbelas-belas fann, disiplin keilmuan; mulai dari bahasa Arab, asbab al-nuzul, manthiq, balaghah  dan lain-lain. Haruskah ketika kita ‘membaca’, iqra’ ayat Al-Quran secara otomatis menjadi mufassir? Mana yang lebih utama, mempelajari Al-Quran atau mempelajari tafsir-tafsir Al-Quran? Ah, kalau ada pilihan ketiga, kita sebaiknya memilih: belajar dari Al-Quran. Bukankah yang terakhir disebut lebih soft, halus, lembut untuk tidak merasa arogan mampu mempelajarinya. Sebab, konon, mempelajari itu teoritis; sedang belajar itu empiris.

Adakah itu grey area, wilayah abu-abu? Adakah itu aba-aba Tuhan yang di-abu-abu-kan? Jawabannya sangat bergantung pada bagaimana kita meletakkan kesadaran. Dan itu baru setetes, di tengah hamparan samudera abu-abu tak menentu milik-Nya. Itu baru segenggam tanah, di antero wilayah bumi-Nya yang ‘tak bersertifikat’ laiknya tanah-tanah yang kita klaim sebagai milik kita dengan sertifikat dan akta tanah. Berapa aba-aba yang diabu-abukan. Berapa iya yang ditidakkan, berapa tidak yang diiyakan!

Adakah abu-abu itu negatif, membingungkan, absurd, ambigu, ataukah transisional bak seragam favorit sekolah orang Indonesia sewaktu muda: putih abu-abu alias SMA/U? Adakah terdapat titik koordinat tertentu yang memang sengaja dibikin abu-abu, klawu, untuk mempertahankan walayah sirr-nya, terjaga misteri atau rahasianya. Biar tak hitam-putih warna kita, linier cara memandang dan cara laku kita dalam mensikapi segala sesuatu. Ah, entahlah, kan abu-abu!

 

Hayu, ngopi sareng didieu: aya kopi racikan para Jon Pakir Jamparing Asih! Ihdinasshiraathal mustaqiim…

 

 

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *