MANUSIA GOA

(Edisi Agustus)

Tema “Manusia Goa”. Ada apa gerangan dengan goa? Di tengah gempuran kemewahan artifisial zaman serba digital ini, kok masih-masihnya seseorang atau sekelompok berani dengan ‘lancang’ menceburkan diri ke pembahasan yang terkesan kolot ini? Lagi-lagi kebingungan merasuki para jamaah JA—yang pada wengi Edisi Agustus ini dihamparkan seleluasa mungkin. Terutama bagi yang belum membaca mukaddimah.

Merambah pra-diskusi, diisilah dengan mini-halaqah atau lingkaran kecil yang mewadahi perbincangan para tamu baru istimewa JA yang membela-belakan diri agar bisa hadir meski mengorbankan tontonan live Tim-Nas Vs Malaysia yang berakhir terserah apa kata ijtihad anda untuk menyebutnya. Para tamu tersebut sangatlah menyumbang beraneka warna anyar dalam maiyahan lantaran berasal dari beragam corak background; teknisi, seni, musisi, pedagang, aktivis, sipil, orang biasa hingga orang-orangan pun ada dan yang selainnya pula. Kesemuanya menyatu tanpa merasa dibelenggu.

Lanjutlah ke iftitah diskusi, ditemani Mas Aam meng-iqra’ wirid ta’ziz wa at-tadzlil secara berjamaah. Kemudian Al-Fatihah. Diaromai segitiga cinta. Allah-Rasulullah-Hamba. Masuklah kita ke ranah ‘pergunjingan’ tentang “manusia goa”.

Om Teguh—yang usai digoda moderator untuk men-jlentrehkan ketersembunyian makna simbolis poster—mencoba menawarkan suguhan pancingan. Secara pribadi saja, terasa oleh saya, ada keterjebakan pikiran dalam memandang poster JA bertajuk “Manusia Goa” yang tidak terlihat ada manusia dan goa sama sekali. Seekor anjing srigala lah yang justru exist.

Pada aslinya, Om Teguh makin memperdalam penjelasan, di poster itu terdapat goa namun memang sengaja dibikin tidak jelas. Dalam terminologi bidang design dinamakan “double-expose”. Ditonjolkannya sosok anjing srigala itu sebagai simbol anjing “Kitmir” yang menjaga mulut goa dalam kisah Ashabul Kahfi.

Perbincangan mulai mencapai titik panas awal. Setrum-setrum pemantik di masing-masing ubun-ubun berkelindan anggun. Mas Aam ikut meraba bereaksi seolah tertegun. Bahwa kita, yang konon sekarang beralih nama lagi “generasi millenial” ini, kenapa musti mau-maunya menceburkan diri membahas goa—yang padahal terkesan berdebu penuh sarang laba-laba.

Lantas apakah goa? Sampai-sampai term itu, goda Mas Aam dalam mukaddimah yang disebutnya, telah diabadikan dalam salah satu surah Al-Qur’an berisikan rekam jejak Ashabul Kahfi yang usai dimatisurikan selama lebih kurang 309 tahun untuk kemudian digugah kembali dan disuruh-Nya agar tarung-pengetahuan ke-silaman dengan pasar di zaman yang terlampau depan. Sewaktu bangun menatap kondisi sendiri yang tetiba berkuku panjang, rambut makin berkembang, mata sayu memandang, tentu akan penuh kebingungan. Maka tidak mencengangkan jika mata-uang pikiran, mata-uang perenungan, mata-uang pengalaman kita ini tidak laku di pasaran (lautan mainstream) ini. Sanggupkah kita mentadabburi cuplikan fenomena tersebut?

Goa, tak bisakah bahasan tentangnya melampaui sekat-sekat identifikasi akademis-empiris, yang berarti hanya seonggok tanah berlubang dan berisikan kegelapan penuh kelelawar dan dampak penggaungan? Jika bisa, dari sisi perspektif apa saja manusia mampu menjamah kesejatiannya? Betapa wajah goa bila diteropong dari mata saintifik-religius? Kumaha ronanya jika ditilik dari sedotan-pandang tarekat antro-psikologis dunia? Eta terangkanlah seperti apa perangainya seumpama diintip dari bilik keruang-waktuan alam semesta?

Mata-mata menagih tanya. Kepala-kepala mengubrak-abrik rak akalnya. Menelusuri dokumen-dokumen keluasan dimensi, aspek, spektrum, approach, dan sisi-sudut lainnya tentang goa. Jamaah tengah berkelana dalam goa personalnya. Dalam kesunyian jeda dan hening yang seketika, Jamparing Asih serasa begitu gaduh tanpa suara.

Berupa-rupa frekuensi—walau tak kelihatan—ke sana kemari berlompatan, dan untuk nanti, akan saling menemukan titik-pijak pertemuan-pertemuan. Yang sama sekali tidak terduga logika-statis pikiran.

Lompatan pertama yang memecah kebekuan dalam sibuknya akal pikiran, dilakukan Kang Iman selaku moderator. Mempersilahkan Arif Mbah dari Telkom yang memaparkan temuan sekaligus pertanyaan pikirannya, bahwa dalam bahasa lampau ada “topo ing rame, sepi ing gawe”. Bertapa dalam keramaian, sunyi dalam pekerjaan. Jika memang ada goa pada masing-masing diri kita, bagaimana mencari atau metoda menemukannya?

Soal bertapa, Mas Aam menghidangkan contoh Nabi Muhammad—yang pula sering bertapa di goa dan bahkan menerima wahyu di dalamnya. Apakah memang goa ini wasilah dari perenungan?

Tapi apakah Allah bersembunyi ke dalam goa sehingga kita perlu untuk masuk ke sana? Sahutan Kang Imam memperindah penasaran dan memperparah kerinduan. Lantas manusia, sanggah Kang Satrio—keluarga baru JA, semua secara masing-masing akan menemukan titik di mana harus sendiri. Setelah usai dari titik atau ruang kesendirian itu, maka baru menyesuaikan diri (readaptasi sekaligus reinforcement) dengan lingkungan sekitar dan berbekal kesadaran yang juga baru sama sekali.

Gelombang diskusi pun diputar-silamkan Mas Aam, perihal kenapa musti goa yang dijudulkan bahkan disurahkan. Mengacu pada mukaddimah kembali; tentang dalam kesempitan—yang sering didapat dalam goa—justru tersembunyi suatu kelapangan, dalam keheningan ada kegaduhan, miskin dalam kekayaan, begitupun sebaliknya dan malah ada yang mengatakan silence is rhythm itself.

Ada lagi lainnya, masih ada suara dalam sunyi. There are still some noises, altough on the silence. Bahkan terkadang secara dialektis, diam adalah suara paling lantang. Semisal; mending dihajar habis-habisan oleh Ibu dengan rotan, ketimbang sang Ibu mendiamkannya barang dua hari saja. Sebab orang akan lebih sakit hati parah ketika didiamkan ber-ibu bahasa.

Kemudian lompatan selanjutnya, melihat wajah-wajah yang masih menanti penjelasan simbolik poster secara lebih rinci, Om Teguh berusaha memberikan dauroh setulusnya. Karena ada anjing yang merupakan representasi dari Kitmir sang penjaga mulut goa, kita lantas menjadi malas, enggan, atau takut serta paranoid untuk memasukinya. Lebih-lebih menelusurinya? Padahal di dalamnya terdapat banyak sekali tokoh-tokoh yang difigurkan namun tetap bersembunyi. “Mungkin” tersebab kecenderungan orang yang ada di goa itu sudah tidak bisa menghadapi dunia luar. Atau barangkali saja para “Manusia Goa” itu bisa, namun tetap membawa nilai-nilai pedoman mereka yang sudah tidak laku di pasaran dunia luar goa sehingga akan terbitlah rasa-terasing (sense of alien) di batin dan jiwa mereka.

Semua kita memiliki “Goa Garba” dalam diri masing-masing, terus Om Teguh. Tatkala mengamati sesuatu di luar yang tidak cocok dengan kita, sontak kita reflect membatin dalam goa pribadi. Contoh jauhnya, kenapa kok ya tega-teganya pemerintah—yang diamanahi oleh rakyat yang memilihnya—justru memasang tulisan “hanya untuk masyarakat miskin” pada tabung elpigi untuk rakyatnya sendiri? Ironis sekali rakyat yang membayarnya itu, martabat dan harga dirinya telah dijatuhkan sendiri oleh sosok yang dipilihnya untuk mengemban amanah. Menjatuhkan harga diri yang membayarnya. Memerosotkan martabat rakyat, yang merupakan juragannya.

Batin kita—yang tidak cocok bahkan tersiksa oleh hal demikian—seketika akan menarik diri untuk lalu memasuki goa pribadi masing-masing. Maka marilah kita bangun dari tidur di goa ini, ajak Om Teguh, lantas kita ukur nilai-nilai di luar kita; mana yang musti diikuti dan mana yang kudu diubah-perbaiki? Dilanjut dengan menemukan presisi titik mizan di mana kita tengah berdiri dan kemudian memposisikan kedirian sesuai peranan.

Para Peranakan Goa & Terma Pamali

Perihal ini, “peranakan goa” hanyalah sebuah pemadatan dari butir-butir variasi makna tentang goa yang diketemukan. Tercakup pentadabburan dari para tamu JA, goa barangkali saja bisa disepertikan atau dimisalkan “rahim ibu”. Ruang dimana seseorang bisa menjumpai sekaligus mencapai titik rasa paling aman, nyaman, dan akan siap untuk bertumbuh-kembang.

Hidup dalam kondisi ‘ekologi’ yang tidak kenapa-kenapa. Nihil dari situasi genting dan kebak benturan konflik. Meski nanti kepenuhan rasa aman itu akan tetap berlanjut dengan resiko kebahayaan tersendiri. Dan sebagai anak yang baru keluar dari “rahim” kehidupan, akibat alaminya tentu berefek ke rasa keheranan pada cemarutnya dunia. Kekejaman, suram, bunuhan, gelut, polusi dan lain seterusnya.

Sementara Venol, Jamaah baru JA basic seni, memberikan manuver baru. Apakah betul orang yang ke goa itu untuk mencari sunyi (yang padahal ada ramai dalam sepi), atau justru sekadar bersembunyi? Hanya pelarian atau eskapisme kah? Venol coba ajak liyan menggali.

Sedang kalau dalam musik, jeda ialah musik itu sendiri. Venol pun membeberkan cerita tentang anomali konser seorang Komposer luar, John Cage, yang menuai beragam kontroversi. Karya itu, ternyata di dalamnya semua pemain musik hanya terdiam selama hamper 5 menit. Tentu aneh. Meski ada perspektif lain dari pengamat bahwa itu bukan lah musik, melainkan karya seni yang mengilhami musik. Sebab ia terinspirasi oleh lukisan putih polos sewaktu pameran seni. Ketika ditanyakan kenapa hanya putih, atau cuma jual kanvas saja? Pelukis menjawab kepada John Cage bahwa lukisannya ialah apapun yang terlihat oleh pengamat. Jika muncul wajah kekasih, maka itulah isi lukisannya. Dari situlah John Cage meramu karya berjudul 4”33’ itu.

Atas hal itu, Mas Aam menambah diikuti Om Teguh. Kita akhirnya sadar. Bahwa selama ini, kita semua diracuni secara sehalus mungkin oleh sistem konsensus budaya mainstream bahwa yang musik itu gitu, cantik ya demikian itu, lukisan indah seni ya begini. Ini racunan. Anomali lukisan dan musik tadi menggelarkan satu dari sekian contoh cinta yang leluasa dan rahmatan lil-‘alamin. Dalam keheningan masih ada suara. Silakan tanyakan pada yang tuna-rungu, nyatanya masih ada desis atau dengung yang mereka terima.

Kembali ke goa; dalam kebudayaan sunda ada yang serupa. Sebutannya “goah”. Tempat menyimpan hasil panen, terdapat sesaji dan tidak sembarang orang boleh memasukinya. Sering kali orangtua dulu di kampong memarahi anak dan remaja yang lancang menyusup ke goah dengan istilah “heh, awas… pamali”.

Om Teguh lantas mengatakan kalau orang kampong dahulu itu musti taat aturan adat dan manut kepada sesepuh. Pamali menjadi suatu tata-hukum nilai yang kuat dan kokoh dengan tanpa disertai bantah-bantahan. Karena ada yang dituakan—tidak seperti era kekinian. Terma “pamali”, lanjutnya, sangat mungkin berasal dari “Pak Wali”. Awas, jangan masuk…pamali (nanti dimarahin pak wali).

Ini mungkin memang sebuah sistem kolot tapi sekaligus canggih. Yangmana perlu ada hutan larangan yang kita tidak boleh menjamahnya. Tahu batasan. Babi ya harus dan butuh berkembang-biak di sana. Konservasi juga. Sama halnya dengan di suku-suku ‘primitif’ ada semacam aturan adat tentang mengatur air. Hal demikian bukan sesuatu yang remeh. Lebih dari itu, termasuk pula di dalamnya kontrol-sosial. Kita harus turut menanam, berkebun dan menjadwal panen.

Sontak Mas Aam melihat perspektif lain, primitif ialah originalitas. Nabi mendapat gelar Al-Amin itu karena originalitasnya sebagai manusia paripurna. Nah, mungkin sudah waktunya, di tengah gemparnya kemajuan pesat zaman dan era popolontong suka ndangak-an; mending secara berjamaah mari memprimitifkan diri dengan makna di goa benak kita sendiri-sendiri. [08-2017/M.NaufalW.]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *