Mukadimah
Shut Down
Shut Down, matikan! Pareuman! Apa yang terbayang oleh kita ketika mendengar kata tersebut? Sangat mungkin dan hampir pasti kebanyakan kita, karena kehidupan keseharian kita selama beberapa dekade terakhir ini banyak ditemani oleh benda-benda elektronik, akan menyebut atau membayangkan radio, tape recorder, televisi, komputer, laptop, handphone, gadget wa akhawatuhum/dan lain-lain.
Tidak serta merta, di sini, akan diuraikan secara rinci perihal seluk-beluk kebahasaan shut down berdasarkan asal-usul ruang dan waktu lahirnya term itu. Sebab, kita bukan pemilik asli bahasa ‘coro inggris’ itu, ditambah –dan ini yang utama– ketidakmampuan kita secara akademis laiknya sarjana bahasa (atau sastra). Yang bisa kita lakukan mungkin mereka-reka kritisi kita terhadapnya. Misal, shut as transitive verb means menutup, tetapi ketika diselipkan kata down menjadi bermakna ‘mematikan’. Sementara jika dipasangkan dengan up (Shut Up) mengandung arti ‘tutup mulut(mu): diamlah’! Akan tetapi nanti dulu, otak-atik kecil ini bisa kita selenggarakan sendiri-sendiri, atau bersama-sama.
Term shut down diambil untuk mewakili nuansa kebahasaan yang semakna dengannya. Tanpa bermaksud menafikan bahasa-bahasa lainnya, shut down dipilih untuk memudahkan komunikasi –di era millenial ini. Toh, bahasa dan para penuturnya tak mungkin bisa menghindar dari ‘cara kerja’ Tuhan.
Yang menarik untuk ditadabburi adalah mengapa sampai lahir kata ‘matikan’. Untuk apa dimatikan? Dan dalam kondisi apa dimatikan? Kalau urusannya benda-benda elektrik itu harus dimatikan mungkin untuk menghindari error, hang, korslet dan seterusnya. Tapi materi-materi itu adalah hasil rasa cipta dan karya manusia! Bagaimana dengan benda atau materi lainnya semisal tumbuhan, hewan, angin, udara, air dan sebagainya? Bahkan manusia sendiri yang sejatinya ‘karya atau design’ Tuhan! Di luar Sunnatullah-Nya bahwa mereka harus berhenti, mati, layu dan lain-lain, berhakkah manusia melakukan tindakan ‘mematikan’ itu? Sebab ada penebangan pohon, penyembelihan hewan, teknologi penyulingan air, pengendalian udara atau iklim, perang antar negara dan seterusnya. Tidakkah itu persoalan hak dan kewajiban! Di manakah titik dan koordinat mizan manusia dalam walayah semacam itu?
Adakah manusia punya aktivasi daya menghidupkan atau mematikan? Tidakkah itu berhubungan dengan Sulthan Ilahiah al-muhyi wa al-mumit? Jika iya bagaimana, pun tidak juga bagaimana! Kalau hidup dan mati mungkin tak dipersoalkan oleh kita, yang memang sedang hidup dan akan mati. Tetapi sejatinya apakah itu hidup; what is dead? Tak banyak kita mendayagunakan akal kita untuk bermesraan dengan Juragan Agung kita untuk diajari meng-iqra’-nya. Bukankah kita lebih asyik menyibukkan diri secara habis-habisan untuk memacu potensi kita untuk menunjang karir kesejarahan hidup di dunia ini. Bagaimana jika hidup adalah mati, dan sebaliknya?
Kenapa kematian begitu mencemaskan atau menakutkan? Sampai-sampai ada sejumlah orang yang rela membayar mahal untuk menghindarkan diri dari kematian, misal, melalui ideologi pembangunan yang berwajah penindasan dan perang. Orang mencemaskan kematian yakni kehidupan. Orang mengejar-mengejar dunia; tapi tak henti-henti mengeluh tentangnya! Jangan-jangan kehidupan yang kita helat sampai detik ini sebenarnya adalah pesta kematian.
Urusan menebang pohon, mencari ikan di sungai, menyembelih binatang, sebagai contoh, bukanlah persoalan yang remeh temeh. Leluhur kita memiliki kearifan hidup yang luhur untuk mengkhalifahi sesuatu. Segala sesuatu ada caranya. Desa mawa cara, negara mawa tata. Silahkan gali khazanah ‘sesepuh dunia’ asli kita yang hari ini dikepung oleh superioritas dua lainnya. Buktinya, ketika kita bersekolah atau ngampus, kita ‘mendadak Yunani/Eropa’; sementara kita ber-Islam, kita latah menjadi ‘Arab’. Kita tidak lantas anti Arab dan Barat. Ada sesuatu yang memang harus Arab, perlu Barat dan musti Nusantara. Masih gengsikah kita untuk mau men-tadabburi filsafat radikal Mbah-mbah kita di Merapi sana: Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat!
Atau, di tengah arus globalisasi yang silang sengkarut mengepung kita melalui teknologi IT nubuwwah informasi, pengetahuan, ilmu dan seterusnya yang tak jelas ini, kita perlu untuk mematikan diri atau minta dimatikan oleh-Nya? Bak Ashabul Kahfi yang dimatikan/ditidurkan di Goa selama 309 tahun. Online kita di seluler, jangan-jangan meng-offline-kan kita di walayah lain. Betapa tak lelahkah kita mencari diri kita selalu di luar? Tanpa pernah sesekali menziarahi diri kita di dalam. Atau agar tak overlude, seperti perangkat-perangkat lunak atau keras IT itu, kita harus mematikan diri kita untuk lahir kembali, hidup lagi. Bukankah ‘menghidupkan yang mati’ (yuhhyillahu al-mauta, tsumma ahyahum, tsumma yumitukum, tukhrijul hayya minal mayyiti wa tukhrijul mayyita minal hayy¸dan sebagainya) dihamparkan Allah sebagai aktivasi shifat dan af’al-Nya di dalam qur’an literer-Nya? Belum lagi yang fi al-afaq wa fi anfusikum!
Ah, kalau itu terlalu seram atau menyeramkan, ingat saja seorang Madura ketika ditegur temannya: ‘Sampeyan ngerokok terus, nggak takut mati?’. Dengan santainya ia menjawab: “Ndak lah, kan saya bawa korek api”.
Diantos kasumpinganana, Ngopi Bareng di Majelisan Jamparing Asih!
***