Pernahkah kita membayangkan diri tinggal atau hidup di dalam goa? Sebagai pelancong alam, pengembara, atau pertapa yang sedang ngelmu lelaku hidup tertentu. Atau –untuk jangkau rentang waktu yang lebih lama– sebagai penghuni alias ‘manusia goa’. Apa itu goa; ada apa dengan goa? Wa ma adraka ma ‘goa’ (ghar/cave)? Sampai-sampai ia diabadikan sebagai salah satu surah dalam Al-Quran, al-Kahfi (goa). Rekam jejak kisah Ashabul Kahfi, yang ditidurkan oleh Pemilik Sejati mereka selama 309 tahun, kemudian dibangunkan kembali setelah ‘tidur panjang’nya pun diilustrasikan di dalam surah tersebut.
Belum lagi ‘detik-detik proklamasi’ kenabian (nubuwwah) Muhammad al-Amin juga berlangsung di dalam goa (Hira’). Kenapa harus di (dalam) Goa? Mengapa tidak di tempat lapang, terbuka, atau bahkan pusat keramaian suatu kaum tertentu; pasar, alun-alun, balai kota dan sebagainya? Pernahkah terbersit dan terlintas pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam diri kita? Sebab, kalau mengikuti pertimbangan rasionalitas ilmu pengetahuan modern saat ini, apa yang Tuhan simulasikan dengan Para Kekasih-Nya tersebut di atas sangatlah tidak paralel, compatible, dan marketable, dengan misalnya, efektifitas dan efisiensi dakwah (Islam). Betapa tidak! Orang sekarang, dan sangat mungkin kita di antaranya, begitu gemar menjadi da’i, tanpa pernah mengerti esensi ‘ruh’ da’wah. Kita bangga dan merasa hebat sebagai muballigh, tanpa perangkat pemahaman ijtihadi yang simultan terhadap tabligh.
Selinier itukah cara kita memandang dan berpikir? Bahwa masih ada dialektika siklikal, zig-zag, spiral dan seterusnya dalam menghikmahi sesuatu. Sesakti apa kita –yang tak mampu mengatur jadwal buang air kecil/besar, menumbuhkan kumis, rambut, jenggot dan lain-lain– ‘lancang’ mengidentifikasi Tuhan dengan parameter konsepsi intelektualitas manusia yang tak jangkep syarat-rukunnya, dan yang telah terlanjur dilembagakan berabad-abad? Tuhan, dalam sejarah kehidupan manusia, kita audisi dengan fit and proper test agar layak kita sebut Tuhan; dengan ‘juri tamu’ handalnya, materialisme. Dua aspek lainnya, kemanusiaan (humanisme) dan ketuhanan (teologi/aqidah), yang sejatinya lebih sublim dari materi dan mengajarkan manusia agar ‘tak berjarak’ dengan Penciptanya, digeletakkan begitu saja oleh manusia sendiri. Hasilnya adalah prestasi berkemanusiaan, beragama atau bertuhan kita, dipenuhi deret lajur standar-standar materialistik; dengan ‘pisau analisis’nya, sekularisme. Diakui atau tidak, cara beragama atau bertuhan kita menjadi sangat sekuler; parsial, tidak nyawiji atau manunggal (tauhid). Bukankah Allah sendiri mempelopori tauhid? Bukankah Ia sangat cemburu jika kita mempersekutukan-Nya, selingkuh dari-Nya?
Kiranya kita yang tak kunjung paham… Tak mungkinkah terdapat cakrawala kelapangan dalam kesempitan; terang dalam kegelapan; gerak dalam diam; suara dalam kebisuan; kaya dalam kemiskinan; dan sebagainya? Salahkah pula muatan-muatan pikiran seperti melihat suara; mendengar warna; mencium nada; dan seterusnya?
Seorang pendekar saja untuk mastering ilmu-ilmu bela dirinya harus sering ditempa dan dibiasakan untuk berlatih di tempat-ruang sempit. Tak menjadi aneh jika ia mampu menangkis, menghindari serangan dan tadahan –misal ketika menghadapi lawan– di ruang yang luas, lapang dan terbuka. Semakin sering ia bergelut dengan kesempitan, semakin ia mengerti hakikat keluasan. Semakin kita mampu mentarekati kemiskinan, semakin kita mengetahui kekayaan (kita). Orang yang haus dan menyibukkan diri habis-habisan untuk mengincar kekayaan, bukankah ia sejatinya miskin? Kaya-miskin bukanlah soal, cara kita memperlakukan keduanya itulah persoalaannya. Kaya dalam kemiskinan. Terang dalam kegelapan. Bukankah diam adalah ‘suara’ paling lantang? Kalau Anda tak percaya, bayangkan, pilih mana: lebih baik dimarahi atau bahkan ditampar Ibu Anda, daripada selama sepekan Anda tak ditegur sapa tanya sedikitpun olehnya. Ada suara-suara (kita bisa menyebutnya begitu atau spektrum energi-energi lainnya) dalam kebisuan, kesunyian, dan diam. Bahwa ada suara [dalam] kesunyian (sound of silence); dan diam adalah irama [itu sendiri] (silence is a rythm); dan lain-lain.
Kembali ke goa. Momentum goa. Betapa Gusti Allah telah mementaskan ‘teaterikal rububiyah’-Nya terhadap Para Kekasih-Nya itu di dalam goa! Pada momentum apa dan bagaimana pemuda-pemuda itu memasuki atau diperintahkan masuk ke dalam goa? Ilmu ruang dan waktu. Apa pesan yang dapat kita tadabburi dari ayat-ayat (qauliyah, dan juga kauniyyah [fi al-afaq wa fi anfusina]) tentang: al-Kahfi, Ashabul Kahfi, Raqim/Qithmir, Dzul Qarnain, Goa Hira’, Ruh al-Amin Jibril, Kanjeng Nabi Muhammad dan seterusnya? Tadabbur, bukan tafsir, sekali lagi. Adakah kita berpeluang sama untuk ‘diajari’ Allah di dalam ‘goa-goa’ kehidupan kita? Goa yang seperti apa; haruskah kita mencari, menemukan goa itu di sana di sini? Atau, atau dan atau… Ayat, surah al-Kahfi itu memang telah diwahyukan berabad-abad silam, tapi bukankah ia masih berlaku untuk kita saat ini, di sini?
Ahlan wa sahlan… Mari melingkar, di ‘goa’ JA! Dengan penuh kerendah-hatian kita memohon kepada Allah untuk senantiasa diajari meng-iqra’: agar, semakin tampak kekerdilan kita dan betapa semakin akbar Allah Swt.