ditulis oleh : CSSMORA UIN Sunan Gunung Djati

Ngaji bareng Emha Ainun Nadjib dan Syeikh Nursamad Kamba | 19 November 2016, 20:00 WIB | UIN Sunan Gunung Jati, Bandung #MaiyahBDG

Pola hidup materialisme dan hedonisme yang kini menjadi corak paling terang masyarakat modern, tentunya berdampak pada kepribadian manusia secara individual maupun kolektif. Terutama besarnya gelombang persaingan hidup yang sangat kompetitif membuat manusia rentan: mudah stress dan frustasi. Besar kemungkinan ketika manusia modern tidak lagi mampu menghadapi problematika hidup, mereka cenderung mengambil jalan pintas seperti bunuh diri, penyalahgunaan narkotika, tindakan asusila dan lain sebagainya.

Ini menandakan bahwa ada beragam krisis yang tengah menggerogoti kondisi manusia modern sebagai hasil dari ketidaksesuaian sistem-sistem yang sedang dipakai saat ini. Salah satu sistem yang fundamental ialah sistem pendidikan dan kaitannya dengan konstelasi politik. Pendidikan akan selalu ditagih kontribusinya baik berupa SDM yang baik maupun efektivitas sistem yang diterapkannya. Dan dari fenomena inilah urgensi fungsi institusi pendidikan—terutama perguruan tinggi—demikian dinanti agar ikut serta dalam menyelesaikan, atau minimal menanggulangi problematika hidup manusia modern yang kering nilai-nilai keharmonisan lagi.

Dosen sekaligus mahasiswa dan segenap civitas akademik perguruan tinggi sebagai wakil dari kalangan intelektual (yang terdidik) telah memikul tanggung jawab dan beban moral tersebut. Mahasiswa yang diposisikan sebagai agent of social change atau dengan sebutan lain agent of social control saat ini mulai terasa banyak mengalami degradasi nilai dan peranannya. Otomatis akan terkait pula dengan pengajarnya (dosen). Pernyataan ini merupakan suatu asumsi –untuk tidak menyebut tuduhan—dari pengamatan atas realita yang telah terjadi. Khususnya pada beberapa perguruan tinggi yang secara legal-formal memiliki basic dan background Islam.

15042056_331536600551220_8171851330321443798_o

Selebihnya, institusi pendidikan yang jelas-jelas berlabel Islam nyatanya belum bisa menjamin seseorang di dalamnya akan mencerminkan perilaku orang berilmu dan berakhlak. Universitas sebagai laboratorium keilmuan yang semestinya menerapkan 3 terminologi hidup: kebaikan, kebenaran, dan keindahan justru seolah-olah blunder atau barangkali miss the target.

Lebih luas lagi (selain tindakan asusila), persoalan yang menimpa dunia kampus dimana mahasiswa sebagai subjek dan objek seringkali melahirkan dinamika, seperti aksi (demonstrasi) atas nama memperjuangkan hak-hak mahasiswa yang berujung anarkisme, pengawalan birokrasi kampus yang dianggap rawan akan penyalahgunaan wewenang institusi yang terpaksa harus terhenti di tengah jalan karena adanya kolusi-kolusi, hingga perubahan orientasi pendidikan yang tidak memanusiakan manusia. Telah lazim jika fenomena-fenomena tersebut tampaknya telah menjadi rahasia umum.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sebenarnya apa dan bagaimana perilaku yang semestinya mahasiswa sekaligus pejabat kampus cerminkan di dalam lingkungan pendidikan dan masyarakat? Jangan-jangan, perilaku mahasiswa selama ini sudah bukan lagi menunjukkan hakekat ‘mahasiswa’ itu sendiri.

Semua masalah yang sudah diungkap kalau diteliti akarnya adalah karena jiwa manusia itu telah terpecah-belah sehingga perlu diintegrasikan kembali melalui ajaran akhlak (tasawuf). Maka perlu adanya perenungan kembali, bagaimana mahasiswa sekaligus seluruh warga kampus berperilaku sebagaimana tugas dan peran yang diemban. Dalam kadar paling minimum ialah menumbuhkan kepekaan terhadap realitas sosial. Barangkali, melalui reinternalisasi nilai-nilai kedalaman akhlak, mahasiswa dapat memposisikan kembali sebagai kaum intelektual dan calon pemimpin bangsa yang tentunya dibutuhkan untuk kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia secara umum dalam mengatasi beraneka-ragam problematika zaman.

Melalui kesadaran-kesadaran itulah nantinya mahasiswa dibentuk dan dididik bukan sebagai manusia yang semakin merusak tatanan yang dimiliki bangsa Indonesia, namun menjadi manusia-manusia yang cinta Indonesia dengan mengimplementasikan keilmuan dan kebijaksanaan dalam upaya mengentaskan masyakarat dari krisis kemanusiaan di tengah arus peradaban yang serba-boleh (over-permissive) ini. Atau, jika tidak, ‘Tuhan pun tersinggung’ oleh kaum yang menyebut diri sebagai “maha-siswa”.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *