(Tanah Airku, Tanah Air yang Sejati)

Lemah cai

Lemah cai kuring

Nagri endah asri, rasmi

Suggih cacah jiwa

Bahan lubak libuk 

Simkuring tresna miwah nyaah

Ka lemah cai pribadi

Kuring suka kuring betah

Dibali geusan ngajadi

Simkuring tresna miwah nyaah

Lemah cai Indonesia

Kuring suka kuring betah

Indonesia gemah ripah


Sejak dahulu daerah Tatar Sunda sudah berpenduduk yang dikenal dengan Masyarakat Sunda yang menjalankan tatanan yang disusun menjadi tatanan Sunda. Tatanan kehidupan sosial masyarakat sunda lebih kepada  ramah & murah senyum, lemah lembut, hormat serta santun atau lebih dikenal dengan Silih Asah, Silih Asih serta Silih Asuh dan sangat menghormati tatacara sabilulungan/gotong-royong, paheuyeuk-heuyeuk leungeun, ngeduk cikur kudu mihatur, nyokel jahe kudu micarek,  tigin kana jangji , ulah kabita ku imah bodas, ulah heroy ku sangu bodasSementara hal yang sangat dijauhi dalam kehidupan mereka adalah mipit teu amit, ngala teu menta, menta teu bebeja, ngegedag teu ka bewara.

Beberapa ajaran dalam budaya sunda tentang nyukcruk galur kahirupan atau jalan menuju keutamaan hidup seperti Cageur (sehat), Bageur (baik), Pinter (cerdas), Singer (mawas). Unsur-unsur di atas menjadi dasar kepercayaan dan keyakinan mereka kepada Tuhan atau sang pencipta yaitu yang tak dapat digambarkan dan manusia tidak mampu  memberi namaNya, karena tidak dapat dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang ada di dunia ini.

Adapun prinsip atas kepercayaan kepada sang pencipta dikenal istilah : 

Ku harti moal katepi, ku akal moal kahontal, ngan karasa ku manusa (oleh pikiran tidak akan tercapai, hanya dengan rasa manusia)
Betapa tinggi nilai falsafah yang mereka terapkan dalam tatanan kehidupan keseharian mereka. Namun kini apa yang terjadi ?

14858584_517912371751501_705290883_o

Masyarakat Sunda mungkin sedang dan sudah lupa akan dirinya,  sehingga tatanan yang telah menjadi norma yang di junjung tinggi tinggal sebuah nilai-nilai yang hanya dapat diteliti di atas kertas. Pemaparan diatas adalah sedikit tentang gambaran mengenai pemahaman sebuah tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi norma-norma kehidupan secara turun temurun yang dalam sekian lama berproses secara terus menerus. Mungkin masih berproses sampai dengan sekarang.

Berdasarkan latar belakang sejarah, tidak menutup kemungkinan bahwa jati diri urang Sunda telah terpengaruh dua politik kekuasaan, yaitu kekuasaan feodalisme dan kolonialisme (Belanda). Kedua politik kekuasaan tersebut telah memporak-porandakan jati diri urang Sunda, serta begitu mendominasi seluruh tatanan kehidupan termasuk terhadap sikap dan perilaku selama beberapa generasi. Indikasi hal tersebut tampak bahwa hingga saat ini urang Sunda bersikap ngelehan maneh (mengambil langkah mengalah) dan sumuhun dawuh  hal demikian adalah berkat tempaan selama berabad-abad dari politik kekuasaan feodalisme dan kolonialisme.

Secara umum masyarakat tatar sunda dikenal sebagai masyarakat yang lemah lembut, religius dan sangat spiritual, maka dalam tatar sunda juga dikenal beberapa falsafah kehidupan dan menjadi Ageman  bagi jalan menuju keutamaan hidup dalam mencapai Kasampurnaan.

Salah satunya adalah falsafah Tri tangtu yaitu falsafah diri tentang Silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh  yang sempat juga menjadi materi bahasan dalam riungan Jamparing Asih sebelumnya, Jamparing Asih membahas Tri tangtu dimana falsafah ini memiliki kaitan erat dalam pemahaman dan pemaknaan bagaimana kita merasakan Cinta dan kasih sayang dari Sang Maha Pemurah serta Maha Penyayang (Ar Rahman – Ar Rahim) yang kemudian kita menebarkan kembali Cinta Kasih serta sayang tersebut dengan kemurahan kepada sesama mahluk ciptaaNya (Rohmatan Lilalamin).

Budaya-budaya luhung masyarakat sunda sedikit banyaknya saat ini sedang dan sudah terkontaminasi oleh budaya-budaya deungeun  dan cenderung modern atau kekinian. Kondisi ini secara sadar dan tidak sadar merubah etika serta tatanan khususnya di kota Bandung sebagai pusat kegiatan masa kini di Tatar sunda.

Kecap/kata Punten, Sampurasun, Kulan, Kah, wilujeng dsb sudah sangat jarang terdengar atau mungkin sudah tidak dikenal oleh sebagian besar masyarakat sunda saat ini khususnya para Nonoman (remaja/muda-mudi). Begitu mudahnya pengaruh-pengaruh asing/budaya deungeun merubah tatanan dan norma-norma sehingga membuat program pemkot Bandung Rebo Nyunda masih sangat kecil artinya dalam menumbuhkan kembali tatanan serta norma-norma masyarakat sunda.

Pada kesempatan ini yang bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, Jamparing Asih mengajak khususnya para Nonoman/pemuda sunda dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencoba kembali memahami dari apa isi Sumpah Pemuda. Sudahkah mengaku bahwa tanah airnya Indonesia? Apa kira-kira yang sudah diberikan untuk Indonesia? Ataukah terbalik, justru Indonesia dalam bentukan pemerintahannyalah yang sudah banyak mengambil dari kita? Kenapa masih men-naturalisasikan WNA untuk menjadi WNI sebagai pemain TimNas Indonesia? Sudah tidak bersaingkah pemain Indonesia dengan pemain luar negeri? Kenapa harus banyak menggunakan bahasa asing terutama bahasa Inggris dibanding bahasa/istilah daerah? Mengapa kini rasanya kita terasing di negeri kita sendiri?

Kesenian dan budaya asli Indonesia ketika akan di akui/dicaplok oleh negara lain barulah bereaksi terutama para pemuda, sebuah reaksi yang bagus tapi pertanyaannya adalah kemana kalian sewaktu seni dan budaya asli Indonesia hampir punah dan cenderung tidak dikenali? Kini semakin marak pula penyamarataan bahwa islam itu arab, arab adalah islam. Apakah iya seharusnya seperti itu? Lalu Sunda-nya, Jawa-nya, Madura-nya, mau dibawa kemana?

Jika dikaitkan dengan pencarian dan pemahaman Diri, maka sudah saatnya lah kita semua merubah cara pandang kita sebagai umat Islam yang ada di daerah tatar sunda atau pun di wilayah Indonesia lainnya untuk melihat dan memahami bahwa dengan didasari rasa syukur atas nikmat yang telah Allah swt berikan yaitu disinilah kita dilahirkan atau di tempat mana kita dilahirkan maka disitulah norma dan etika yang harus kita junjung.

Kita tahu dan sadari bahwa kita semua dilahirkan bukanlah atas kemauan kita sendiri tapi itu semua Bi Qudratillah, Bi Iradatillah.

Jadi kenapa tidak kita junjung tinggi seni dan budaya kita sendiri dan tidaklah salah jika nilai-nilai tersebut kita selaraskan dengan tatanan serta norma-norma dalam kehidupan beragama.

Sesungguhnya Islam yang sejati adalah di dalam Hati setiap orang, karena Allah swt tidak melihat dan menilai ke Islam nya seseorang dari wajah, pangkat/jabatan, pakaian serta perhiasan tetapi Allah melihat dan menilai Islamnya seseorang adalah dari Qolbu/hatinya.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini Jamparing Asih mengundang dan mengajak para wargi serta sasegenap masyarakat yang mencintai Tanah leluhur-Lemah cai untuk hadir  dalam riung mungpulung Majelis Masyarakat Maiyah: Jamparing Asih yang bertemakan “Lemah Cai Kuring, Lemah Cai nu Sajatipada hari Sabtu, 29 Oktober 2016, pukul 19.00 di SMK Al-Hadi, Bandung dengan silih asah-silih asih-silih asuh untuk menggapai cinta, kasih dan sayang Nya.

Hapunten nu kasuhun, hampura nu diteda … bilih aya nu kajingjing kudiri, nu ka candak ku raga, nu kadugikeun ku basa anu kirang sapuk sareng mamanahan kitu oge tangtos seueur keneh kirangna tur lepatna mugi katampi ku gulah galih nu wening nu teu kakeunaan ku owah gingsir.


Sabilulungan

Sabilulungan, urang gotong-royong
Sabilulungan, urang silih rojong
Sabilulungan, genteng ulah potong
Sabilulungan, persatuan tembong

Tohaga, rohaka,
Rempug jukung ngabasmi pasalingsingan
Satia, sajiwa,
Rempug jukung ngabasmi pasalingsingan.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *