***
Merunut ke masa lalu, obor merupakan modal awal manusia untuk membangun peradaban. Dapat disebut bahwa obor adalah pelita awal yang diciptakan manusia. Kehadirannya sudah ada jauh sebelum ditemukannya lampu minyak, petromak, atau bahkan lampu yang kini dialiri listrik. Sifatnya pun berbeda dengan nyala penerangan yang dikobarkan oleh api unggun. Nyala penerangan obor dapat dibawa untuk berkelana, tak seperti api unggun yang statis di suatu tempat.
Penerangan obor telah membawa manusia-manusia masa lalu dari satu tempat ke tempat lainnya. Kebermanfaatannya telah menjadi pemantik sejak masa silam hingga kita dapat berpijak di sini saat ini. Obor telah menemani manusia-manusia zaman dahulu menapaki satu desa ke desa lainnya, satu kerajaan ke kerajaan lainnya, satu hutan ke hutan lainnya. Dengan bermodalkan pencahayaan obor yang sederhana, manusia zaman dahulu dapat memiliki harapan untuk beraktifitas, berpelesir, bahkan “mbabad alas” untuk membangun sebuah peradaban.
Dalam pemaknaan Sunda obor adalah simbolisasi dari asal-usul dan persaudaraan. Berkaitan dengan hal tersebut, di tatar Sunda dikenal adanya istilah “Pareumeun Obor”. Biasanya para sepuh menyampaikannya kepada anak-cucunya dengan petuah “Kade jang, ka dulur téh ulah nepi ka pareumeun obor.” “Pareumeun obor” mengandung makna terputusnya silaturahmi dengan saudara dan kerabat. Tentunya ada banyak pemaknaan mengenai babasan “Pareumeun Obor” dan di maiyah setiap orang dapat memaknai dan mengkontekstualisasikannya sendiri-sendiri secara otentik. Obor digenggam tangan-tangan manusia di kala malam untuk dapat saling berkunjung. Nyala obor dimanfaatkan untuk dapat saling munjungan ke kerabat, keluarga, dan sanak saudara. Obor pun dapat digilir maupun dipinjamkan dari satu orang kepada yang lainnya hingga dapat saling bekerja sama dan dapat pula menjadi penerang jalan di tengah redupnya hunian-hunian di waktu malam kala itu.
Terpadamnya nyala obor menunjukan padamnya jalur estafet pengetahuan akan keluarga dan kerabat yang telah tercipta sejak beberapa generasi ke atas, maupun sejak zaman bihari. Jangankan untuk belasan ataupun puluhan generasi ke atas, bahkan sanak saudara yang saat ini masih hidup pun banyak yang saling tidak mengenal dan melupakan. Tradisi silaturahmi dan munjungan kepada yang dituakan kini bergeser kepada naluri kepentingan dan sebab akibat. Tak sedikit pula yang menghindari tradisi tersebut karena budaya yang ada kali ini mengisyaratkan bahwa kedatangan satu sama lain ke tempat saudara atau kerabatnya akan berbuah kepada mempertunjukkan kesukesan pribadi dan pencapaian masing-masing diri. Lalu apa yang dapat kita lakukan apabila hal ini banyak terjadi? Menghindarinya? Ataukah tetap menjalani tradisi silaturahmi tersebut untuk tetap menjaga nyala sang obor agar tidak padam? Memang seberapa pentingnya bagi kita untuk saling mengenal dan bersilaturahmi, baik dengan sanak saudara? Apakah makna “pareumeun obor” hanya dapat dielaborasi kepada saudara sedarah saja? Bagaimana dengan konsep pertemanan, persaudaraan, atau paseduluran yang lainnya?
Estafet obor dapat pula dimaknai sebagai doa yang mengalir bagi leluhur yang sudah mendahului. Pun mengenai bagaimana keturunan-keturunan berikutnya dapat mengamalkan ilmu bermanfaat yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. Baik hubungan anak-cucu dan leluhur yang bersifat sebangsa, maupun satu keturunan, yaitu para Bani Adam. Nyala obor berupa ilmu itu akankah dapat kita lanjutkan dan estafetkan kepada anak-cucu dan keturunan kita nantinya? Yaitu nyala ilmu yang telah diturunkan oleh Allah melalui kekasih-kekasihNya.
Mengingat obor adalah upaya untuk memancing ingatan kita kembali ke masa silam. Ke masa dimana para leluhur kita berjuang untuk mengemban amanah mereka dalam membangun peradaban. Hampir di setiap maiyahan, Simbah Guru Emha Ainun Nadjib selalu menekankan pentingnya mengenal kembali leluhur. Bagaimana kita mau lebih presisi melangkah menata masa depan kalau tidak pernah mengenal masa lalu? Pun begitu, kalau upaya untuk menyalakan obor itu hanya untuk mereka yang masih hidup saat ini, bagaimana dengan leluhur-leluhur kita yang telah mendahului? Bagaimana upaya kita untuk tetap menjaga nyala obor yang telah beliau-beliau gengggam sebelumnya dan menjaganya di masa kini bahkan di masa mendatang nantinya? Kalau tidak mengenal diri kita dan leluhur serta apa yang telah mereka perjuangkan, bagaimana kita bisa mengetahui wilayah amanah yang tepat untuk kita emban? Penting untuk disadari bahwa leluhur-leluhur kita di masa silam telah menyalakan api peradaban bagi anak-cucunya. Bagi diri kita di masa ini.
Ketidakmengenalan diri kita terhadap leluhur akan menjadikan pergeseran-pergeseran makna perjuangan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Memaknai dan membatini apa yang telah para leluhur lakukan adalah pembangunan kesadaran untuk berterima kasih, bersyukur, dan kesadaran untuk melanjutkan perjuangan. Membatini apa yang telah ditempuh oleh Rasulullah, para anbiya, dan Kekasih-KekasihNya. Karena bila tidak, kita akan berakhir menjadi individu yang hidup untuk semata hidup, bukan hidup untuk kehidupan. Kita akan berakhir menjadi individu yang hidup untuk diri sendiri dan kebermanfaatan pribadi. Bukankah hidup ini adalah upaya siklikal untuk terurs-menerus mengawinkan upaya Habluminallah dengan kebermanfaatan Habluminannas, bahkan dengan makhkluk-makhlukNya yang lain?
Ada sebuah kutipan yang mengatakan bahwa, “people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots.” Membicarakan “Pareumeun Obor” memiliki kaitan yang erat akan hal tersebut. Erat kaitannya dengan mati, pareum, terputus, asal muasal diri, leluhur, nenek moyang, keluarga, persaudaraan, estafet amanah dari masa ke masa, peninggalan, masa silam, masa kini, maupun masa yang akan datang, dan ragam hal lainnya yang dapat terus digali dan dielaborasi. Lalu, akankah hingga nanti obor itu tetap pareum? Ataukah akan ada yang bersedia mulai menyalakannya, dengan berbagai konsekuensi, kelebihan, dan kekurangannya? Bersediakah kita untuk mulai menggali dan menemukan kembali apa yang telah lama terlupa dan menyalakan obor itu kembali?
Sebagai wadah untuk melingkar, bertukar pengalaman, dan juga rasa, dengan segala kerendahan hati, Jamparing Asih mengundang sadulur sararea untuk bermaiyah bersama dalam cinta dengan tema ‘Pareumeun Obor’ pada hari Sabtu, 30 Juli 2016 yang akan dimulai pukul 18:00 WIB di Studio 1 Gedung RRI Bandung. Semoga dapat saling membuka cakrawala dan mencahayai satu sama lain dengan saling mengasah, mengasihi, dan mengasuh. Karena apalah artinya obor yang banyak meskipun sebesar pohon kelapa kalau ia tidak menyala, bercahaya, dan menghangatkan.
Dihaturanan kasumpinganana.