Oleh Inin Nasta’in
Sejak saya ikut riungan Jamparing Asih, simpul Maiyah Bandung, ada beberapa teman yang nanya, apa sih maiyah itu. Dan sampai sekarang, saya tidak pernah bisa menjawab, apa maiyah itu. Apa sih tempat saya ngumpul itu.
Ada beberapa temen yang kemudian menerka-nerka bahwa maiyah itu adalah pengajian. Ada juga yang bilang maiyah adalah komunitas diskusi. Diskusi budaya, seni dan lain-lain. Dan untuk semua terkaan temen-temen itu, saya hanya bisa meng-iya-kan semua. Karena, ya memang tidak menutup kemungkinan nantinya seiring waktu, seperti simpul maiyah yang lebih tua, di Jamparing Asih itu akan ada hal-hal seperti terkaan itu.
Bahkan ada juga terkaan temen yang (nggak tahu gimana ceritanya), membandingkan maiyah dengan product makanan khas Bandung, maicih. Saya sendiri tidak menyangka akan ada lontaran pertanyaan tentang kaitan dua nama itu. Dan jujur, untuk menjawab secara ilmiyah, saya lagi-lagi tidak bisa. Untuk perbandingan ke dua nama itu, saya hanya jawab. ‘haha, gélo manéh.’
Tapi diam-diam perbandingan dua nama itu, lumayan menggangu juga. “Iya ya, lumayan mirip. Dan ini mungkin bisa ditarik keterkaitannya. Apapun itu hubungannya.” Dari rasa mengganggu itu, saya coba cari-cari keterkaitan antara ke duanya. Maiyah dan maicih.
Bandung, sebagai kota yang dikenal surganya pecinta kuliner, memaksa warganya tidak hanya menjadi penikmat saja. Warga Bandung juga dituntut untuk mampu menciptakan makanan. Entah itu benar-benar menciptakan atau sekadar membuat perpaduan-perpaduan dari makanan yang sudah ada.
Dari sekian banyak kuliner khas Bandung, ada yang namanya maicih. Makanan ini, masuk kategori camilan, makanan ringan. Maicih sendiri sebenarnya kalau dilihat dari jenisnya bukan makanan baru. Maicih adalah camilan keripik yang terbuat dari singkong.
Namun ada ciri khas tersendiri dari maicih ini. Dibanding kripik product lainnya yang sudah ada lebih dulu, Kripik khas Bandung ini memiliki rasa pedas yang juara, dengan kadar (rendah, sedang dan tinggi) pedas menggunakan level.
Seperti umumnya makanan pedas, yang akan dihujat tapi tetap dinikmati juga. Begitu juga yang dialami oleh maicih. Tidak jarang orang-orang yang menikmati maicih ini akan klenger karena pedas yang dipilih adalah level tertinggi. Tapi kemudian, masih tetep menikmati, hingga akhirnya habis satu bungkus. Dalam pribahasa Sunda, ada hereuyan ‘dipoyok dilebok,’ yang memiliki arti (kira-kira) ‘dihujat, tapi juga dinikmati.’ Dan pribahasa itu mungkin bisa dialamatkan kepada maicih. Dengan segala rasa pedas yang edun, maicih nyatanya tetap dicari.
Gambaran Maicih ini, ada kemiripan dengan Maiyah yang saya rasakan.
Sampai sekarang, saya tidak tahu makna maiyah yang sejati. Dan tidak jarang, ketika menonton di youtube atau baca reportase maiyahan, hanya nol koma nol nol nol sekian yang saya bisa tangkap. Dan itu pun masih samar.
Tapi ke-paham-an yang datangnya tidak segera itu, tidak lantas membuat kapok, leumpat. Padahal tidak jarang, ketika menyimak majlis masyarakat maiyah, justru memberikan pekerjaan rumah. Mencari tau lagi tentang apa yang diulas, adalah risiko yang harus ditanggung ketika menyimak apa yang diobrolkan di maiyah. Belum lagi, kadang yang dibahas itu tidak sesuai dengan angan-angan yang diinginkan.
Ketika mengharapkan akan ada obrolan tentang suatu hal yang memang cukup menarik bagi saya, tapi nyatanya di sana tidak dibahas. Malahan diselingi dengan pembahasan-pembahasan yang remeh-temeh, hanya karena ada jamaah yang melempar pertanyaan yang jauh dari kata penting.
Tapi, entah mengapa. Suasana seperti itu, diam-diam menghadirkan keindahan tersendiri bagi saya. Obrolan yang tidak ada kesimpulan, riungan yang justru memberikan beban pikiran, ngumpul-ngumpul yang tidak menawarkan surga. Tapi ada rasa yang beda, rasa yang diam-diam menuntun saya untuk menikmatinya. Tidak peduli apakah besok-lusa saya akan mencret, yang pasti ini adalah nikmat. Dan kalaupun nantinya mencret, maka tidak benar-benar lieur, sebab sudah melewati prosesnya.
Sok sanajan pedes, hayeuh wae digrauk sampe teu nyadar ntos seep berbungkus-bungkus
Bandung, 8 Februari 2016