Mukadimah
Banyu Bening, desa yang terletak di bawah perbukitan Kabupaten Sumedang, yang dikenal dengan kehidupan masyarakatnya yang sederhana, mengutamakan nilai-nilai tradisi yang kuat, religius, serta gotong royong yang tinggi dalam setiap aktivitas sehari-hari. Namun, seperti desa lainnya, mereka juga dihadapkan pada permasalahan yang kian hari tidak kunjung selesai, yaitu kemiskinan.
Pak Jajang Jamaludin, calon kepala desa yang muda, kreatif dan berpendidikan, merasa terpanggil untuk mencari solusi inovatif atas masalah ini. Suatu hari, setelah menghadiri seminar kemiskinan di Hotel Bintang 5 di Bandung yang diselenggarakan oleh Kementerian Desa, dia kembali dengan semangat membara. “Untuk mengatasi kemiskinan di desa Banyu Bening, kita harus memulai sebuah proyek besar dengan memanfaatkan teknologi modern!” serunya penuh semangat.
Dibantu rekannya yang bernama Mas Bambang, seorang ahli teknologi dari pemerintah pusat, berdua mulai mengorganisir warga agar mengikuti pelatihan menggunakan aplikasi untuk memasarkan produk-produk desa secara online. Warga desa, yang mayoritas belum pernah berinteraksi dengan teknologi modern, merasa bingung namun tertarik dengan gagasan Pak Jajang. Satu di antara warga desa tersebut adalah Bu Inah, seorang janda yang kebetulan menjadi kepala rumah tangga, bertanya dengan penuh rasa ingin tahu tentang apa sebenarnya teknologi modern itu. Pak Jajang dengan sabar menjelaskan bahwa teknologi modern adalah alat-alat canggih yang dapat membantu pekerjaan menjadi lebih cepat dan efisien.
Dalam waktu yang relatif singkat, proyek besar yang dilakukan oleh Pak.Jajang semakin mendapatkan pengaruh yang banyak dari warga di desa Banyu Bening. Pelatihan berlangsung dengan penuh antusiasme. Namun, keceriaan itu terputus tiba-tiba ketika Mbah Fauzan, seorang kyai sepuh yang sangat dihormati, menyela dengan serius. “Wahai anak muda, hentikan..!” tegurnya dengan suara berat. “Kamu telah memperkenalkan benda haram, karena alat-alat yang kamu kenalkan itu melawan takdir Allah,” lanjut Mbah Fauzan.
Mas Bambang, yang terkejut dengan interupsi tersebut, mencoba menjelaskan dengan hati-hati bahwa teknologi modern bukanlah hal yang bertentangan dengan agama, tetapi alat untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Namun, Mbah Fauzan tetap teguh pada pandangannya bahwa alat-alat tersebut bisa dianggap sebagai benda haram yang melawan takdir Allah. Perdebatan antara tradisi vis-a-vis kemajuan teknologi menciptakan suasana tegang di balai desa. Warga desa terbelah antara yang mendukung inovasi untuk kemajuan ekonomi dan yang khawatir akan nilai-nilai tradisional yang mereka junjung tinggi. Pak Jajang tersenyum getir sambil melihat perpecahan di antara warga karena disebabkan proyek besarnya yang akan gagal. Dia hanya bisa berkata dalam hati; ”Sepertinya saya tidak akan maju dalam pemilihan kepala desa mendatang”.