Mukadimah

Di antara gemerlap lampu kota dan suara kendaraan berlalu-lalang, ditambah berderet beragam bangunan beton dengan eskalator otomatis yang selalu dijuluki kemodernan, ada sebagian orang yang belum siap dengan denyut laju modernisasi yang saat ini mengakibatkan manusia menjadi luluh lantah, ketelingsut, semrawut dan terseok-seok mempendekari antara kebutuhan atau keinginannya. Ada banyak pertanyaan dan keresahan yang acapkali melintas di pikiran masyarakat modern perihal misal: bahwa kita sepatutnya seperti apa dan menjadi bagaimana? Apakah kemungkinan atau kepastian standar bagi manusia ikut serta berpartisipasi dan berkontribusi dalam melakukan perjalanan dan berkelana di zaman ini? Ketika melihat gedung-gedung industrial menjulang tinggi menutupi pemandangan langit biru, semena-mena merebahkan badannya di pundak manusia dengan bisingnya suara mesin dan uap panas, memuntahkan sisi-sisa kotorannya di nampan makanan manusia. Demikianlah dunia, yang sekarang ini barangkali sudah bukan lagi menjadi pijakan manusia untuk berlomba-lomba meraih cinta kasih Pemilik Semesta, namun –sebaliknya– menjadi beban yang senantiasa ditopang oleh manusia.

            Seringkali manusia membahasakan kepelikan, kepenatan, kesemrawutan perihal kehidupannya; menyenandungkan senang, suka duka, lara, nestapa serta berbagai ekspresi lainnya, hanya untuk menunjukkan keadaannya. Namun senandung ‘bisunya kesunyian’ tak dapat memikat manusia karena manusia telah ditulikan oleh sikap manusia sendiri. Kegersangan jati dirinya membuat manusia bersorak-sorak kepada dirinya sendiri (Gede Rasa, Aba Wastakbar). Manusia luput sebagai makhluk yang fana, lupa akan dirinya dan awal mula sebelum dirinya diciptakan dari ketiadaan dan kesunyian, “Demi Malam yang gelap” kemudian ditiupkanlah Ruh Cahaya dalam dirinya “Demi Siang ketika terang benderang”. Pada zaman modern ini banyak orang yang hendak mengabadikan ke“diri”annya, menganggap semua hal dan keberhasilan yang dicapai mutlak hasil dirinya sendiri tanpa melibatkan Tuhan dalam proses kun fayakun-Nya.Mereka menjadikan Tuhan sebatas alat transaksional untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin setelah itu mereka berpaling dari kehadiran-Nya, “lahum bari’un minallah”. Agama mereka adalah Agamaterialisme: materialisme yang tak terlihat sebagai materialisme sebab ia  berwajah agama.

Entah bagaimana anggapan manusia sekarang, apakah mereka telah menyadari ataukah mereka tak sempat menyadari karena disibukkan dengan menunjukkan eksistensinya? Ataukah manusia telah menjadi anai-anai yang bertebaran terbawa angin peradaban? Zaman modern ini tumbuh pesat melekat serta mengurat bagi siapapun sehingga membuatnya tak berdaya, kehilangan keniscayaannya. Kita perlu melihat sekitar secara mendalam (fil afaq wa fi anfusina) tentang yang ada dan apa yang tak ada di sekitar kita, dapatkah kita ikut serta bermain-main di kehidupan.

Hidup yang dikonstruk oleh sekitar memanglah menyenangkan, tak perlu susah payah mencari makna atau berebut metode tentang kehidupan. Namun kita sebagai manusia yang dianugerahi akal oleh Sang Pencipta sebagai pembeda di antara makhluk atau ciptaan lainnya, sebagai manusia yang memiliki dan mampu memfungsikannya, alangkah eloknya merekreasikan hidup.

            Marilah kita sejenak menepi, berkontemplasi dan bercengkrama mengasingkan diri dari semua ini di ‘jalan sunyi’, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju kegemerlapan yang sekarang ini menghadang di depan kita. Kesenangan seperti apa yang sedang meradang di hati tak pernah kita ketahui, serta apalagi selain ‘bisu’ yang bisa mengantarkan kepada kekaguman, pada segala sebab yang menayangkan satu akibat. Menerka kesunyian merupakan sebuah malapetaka, serta senantiasa berkobar tak ada habisnya, mengutuk sunyi yang tak berdosa membuat kita penat akan dunia. Dalam hal ini manusia hendaklah menggedor dan mendobrak pintu-pintu kesunyian, segala bentuk duniawi yang melekat pada manusia segeralah dilucuti, sehingga akan terpecahkan sebuah misteri di jalan sunyi, lalu membuat kita termangu dan membisu di mana tak ada lagi kata aku ataupun dirimu karena yang ada hanyalah Zat Pemilik semesta yang menginginkan mesra dengan semua makhluk-Nya.

            Dan, di penghujung bulan Mei ini, rasa syukur kita tumpahkan kepada Sang Maha Kekasih: dengan hati tunduk, jiwa mencakrawala, sembari lirih menderaskan doa: Tanggap Warsa Sinangga Manunggal #71tahun Maulana Muhammad Ainun Nadjib, Guru Kita Semua. Al-Fatihah!

Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi

Mendendangkan lagu bisu

Sendiri di lubuk hati

Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata

Cinta yang takkan kutemukan bentuknya

Kalau memang tak bisa engkau temukann wilayahku

Biarlah aku yang terus mengetuk pintu rumahmu

Kalua memang tak sedia engkau menatap wajahku

Biarlah kekasih rahasia Allah yang mengusap-usap kepalaku

(Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng, Kado Muhammad, 1996)