Mukadimah

Bahwa setiap usaha manusia membongkar mitos akhirnya terjebak atau melahirkan mitos baru.

Kesadaran manusia, menurut Karl Gustav Jong, memiliki ikatan yang saling terhubung satu sama lain membentuk kesadaran kolektif (Collective Consciousness). Adanya kesadaran Kolektif ini muncul dari alam bawah sadar manusia membentuk sesuatu yang dikenal dengan istilah “kepercayaan”. Kepercayaan akan sesuatu yang tidak bisa difahami menggunakan nalar positif dikenal sebagai “Mitos”.

Pada dasarnya manusia adalah “homomitologis”. Sebagai makhluk yang senantiasa berusaha menaklukkan semesta (sesuatu yang lebih besar dari pada dirinya), tidak sedikit manusia melakukan langkah-langkah yang disandarkan pada mitos. Apa yang pertama kali dijumpai oleh manusia mula-mula, seperti hujan, angin, pergantian siang dan malam, petir, dll pada kenyataannya telah membuat mereka “overthinking”. Mereka mengkhawatirkan “Jangan-jangan ini semua bisa mengancam keberadaan kita”. 

Dalam salah satu artikel yang ditulis oleh Claude Levi-Strauss, ahli antropologi budaya Perancis, The Structural Study of Myth (1955). Menurutnya mitos bisa diuraikan sebagaimana kita menguraikan musik. 

“Untuk dapat membaca tatanan not balok dalam sebuah orkesta, garis melodik harus dibaca secara diakronikal dalam satu halaman; sementara itu alunan harus dipahami secara sinkronik, naik dan turunnya garis-garis dan ruang-ruang not itu dalam struktur chord. Alunan melodi itu ada di antara keseimbangan pola harmonis dan gerakan melodis menyebabkan hubungan musik dan Bahasa atau musik dan mitos menjadi serupa.”

Yang ingin dikatakan Strauss adalah bagaimana mitos yang hidup dalam suatu lingkup kebudayaan itu terbentuk dan membentuk kesadaran masyarakatnya. Sebab, menurut Strauss, struktur mitos itu mencerminkan struktur masyarakatnya. Sehingga dapat disimpulkan mitos ditujukan sebagai perekat masyarakat yang dapat menjelaskan realitas dan budaya yang ada. Mitos memberikan panduan mengenai apa yang nyata dan penting bagi kehidupan suatu kelompok masyarakat. 

Seperti halnya agama, mitos butuh kepercayaan penuh untuk menghidupkan berbagai hal diantara kita. Roland Barthes (1915-1980), pemikir prancis yang ikut andil dalam perdebatan teori mitos dengan pendekatan semiologi Saussurean, dengan lantang menyerukan agar kita tidak perlu menghindari mitos. Mitos menurutnya bukan seperti dipandang orang awam, cerita “bohong” sekaligus ditakuti. Juga bukan seperti kalangan positivis yang menggangap ini sebagai takhayul yang harus dibuktikan secara emfiris, jika ingin dianggap sebagai kebenaran. Bagi Barthes, mitos adalah “a type of speech”, satu model berujar. Ia hadir dalam keseharian kita. Bukan hanya dari kisah-kisah nenek moyang saja, melainkan hadir lewat televise, radio, koran,film, music, majalah, makanan, kendaraan dan sebagainya. Setiap kita, entah orang awam atau ilmuwan selalu bersentuhan dengan mitos, karena mitos ada dalam system Bahasa.

Jika demikian, apakah Bahasa dalam agama luput dari mitologisasi? Barthes tidak membahas soal ini. Tetapi, bahasa dalam agama memiliki struktur bahsa yang serupa dengan bahasa yang lain, yakni tanda(sign) yang juga terdiri dari penanda(signifier) dan petanda(signified). Pemitosan pada ajaran agama sangat mungkin terjadi pada level bahasanya, bahkan ajaran agama sekalipun barangkali bentukan mitologisasi pada zamnnya. Karena wahyu sebagai sumber Bahasa agama senantiasa menggunakan bahasa metafora. Misalnya, nama “al-Qur’an” untuk kitab suci umat islam. Al-Qur’an sebagai penanda, maka tinandanya adalah “bacaan”, kini tinandanya adalah “kitab suci”. Peralihan Kesan atau tinanda ini berarti mitologisasi.

Dalam konteks hari ini mitologi masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bukan hanya mitos tentang kehidupan masyarakat tradisional, tetapi juga mitos-mitos kontemporer yang bertebaran. Walaupun di era digitalisasi, mitos tidak akan pernah tenggelam dan tidak juga akan punah dengan kemajuan zaman. Terbukti dalam masyarakat Indonesia fenomena mitos masih banyak dijumpai dan setiap daerah mempunyai mitos yang berbeda Bukan hanya mitos tentang kehidupan masyarakat tradisional, tetapi juga mitos-mitos kontemporer yang bertebaran. Di bidang politik, ekonomi, sosial, agama, hingga budaya, mitologisasi telah menjadi atmosfir yang kental, apalagi tahun 2024 merupakan tahun ambang berbagai kepentingan, diantaranya Pemilu.