Mukadimah
Cuaca Manusia

Dalam menjalankan peran kehidupannya, setiap makhluk hidup di jagat raya ini dikungkung oleh sesuatu yang mempengaruhi, membatasi, bahkan menentukan proses pertumbuhan dan perkembangannya –yang nantinya akan menentukan seperti apa rupa, wujud, karakter, jenis, dan kemampuan serta produktifitasnya dalam kehidupan. Sains telah mengabarkan bahwa sesuatu yang ‘mengkungkung’ itu adalah iklim (dan) atau cuaca.
Sampai saat ini, kita seringkali keliru dan bingung dalam mengartikan istilah ‘iklim’ dan ‘cuaca’. Cuaca secara definisi sains merupakan keadaan atmosfer pada saat tertentu. Cuaca hari panas, hujan dan seterusnya. Sedangkan iklim merupakan keadaan cuaca dalam periode yang panjang. Jadi kita tidak bisa menyebut bahwa hari ini beriklim panas, tapi yang lebih tepat adalah iklim tahun ini, iklim tahun depan.
Mengutip pernyataan salah satu Guru Kita, Mas Sabrang MDP, “Cuaca memang bukan bagian dari mata rantai makanan, tetapi ia ikut andil menentukan perkembangan atau pertumbuhan makhluk hidup tersebut”. Makhluk hidup, misalnya, tumbuhan yang berasal atau berada di daerah Eropa atau Timur Tengah tentu saja berbeda dengan tumbuhan di bumi Nusantara, baik itu jenis, karakter, rupa, wujud, produktifitas, sampai kepada kebermanfaatannya. Sampai di sini: mari sejenak mendaftar, dengan daya imaginatif-reflektif masing-masing, semua ciptaan Tuhan –termasuk kita manusia zaman now ini– bahwa betapa tidak ada sekecil apapun yang tidak luput dari pemeliharaan-Nya (rububiyah), dan juga tentunya– mulukiyah dan uluhiyah-Nya. Ambillah contoh sebiji benih jeruk, ternyata sudah disiapkan segala rupa oleh Tuhan; bagaimana pertumbuhan, besar batangnya, berapa jumlah buahnya kelak, sampai berapa usianya, dan lain-lain.
Lalu bagaimana dengan manusia: atau Cuaca manusia? Ya. Manusia, dengan daya ijtihad yang dianugerahkan Tuhan berupa akal, memang mampu bekerja sama dengan Pencipta Agungnya dalam mengurus alam semesta ini, meski pada saat yang sama, dhaharal fasadu fil barri wal bahr juga tak lepas dari tindak eksplotatif manusia. Artinya, banyak konsep, teori, paradigma yang telah dirumuskan manusia tentang makhluk-makhluk Tuhan ‘seniornya’ seperti alam semesta, tumbuhan, binatang, termasuk perihal cuaca. Tetapi, sampai mana manusia mengetahui ‘cuaca’nya sendiri? Misal, ada berbagai disiplin ilmu tentang manusia, mulai dari ilmu jiwa, psikologi, antropologi, sosiologi, humaniora, dan lain sebagainya. Namun, adakah dan bilamanakah manusia mengenali afhdhaliyah-nya sendiri?
Atau pertanyaan lainnya, apakah manusia benar-benar sudah menjalankan peran khalifah fil ‘ardl dari Allah ataukah sebaliknya, berdasarkan dari pengamatan prakiraan tadabbur cuaca kali ini. Tentu saja tidak dalam rangka mengutuk pihak-pihak tertentu, sesama manusia yang juga hamba Tuhan, melainkan sebagai langkah awal kewaspadaan kedalam diri kita masing-masing melalui Sinau Bareng. Bahwa kita sedang hidup pada iklim abad ini, iklim tahun berikut, beserta dengan cuacanya. Kita hidup pada iklim yang –oleh manusia modern– disebut sebagai iklim teknologi informasi, iklim online, internet of things! Kapitalisme yang sebenarnya merupakan kelanjutan iklim yang telah bergulir sejak abad-abad sebelumnya yaitu iklim materialisme yang telah mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan, berfikir, berlaku, dan bertindaknya masyarakat dunia, termasuk manusia-manusia Nusantara.
Iklim materialisme-kapitalistik yang telah bergulir hingga hari ini terus berlangsung dengan cuaca eksistensi, individualistik, pemisahan sesuatu yang seharusnya menyatu dan penyatuan sesuatu yang seharusnya memisah, sehingga cuaca-cuaca itu menjelma sebagai ‘cuaca mikro’ seperti cuaca rakus, maling, eksploitatif, manipulatif dan lain-lain yang mendukung tumbuhkembangnya “benih” individu maupun kelompok dalam bermasyarakat hingga bernegara. Tidak berlebihan jika iklim atau cuaca tersebut –yang telah dan masih sedang bergulir sampai hari ini– ikut menumbuhkan berbagai benih-benih budaya, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan seterusnya–yang tumbuh subuh hari ini. Singkat saja, dengan Cuaca Kekuasaan yang seperti kita maklumi pada umumnya: benih pemimpin mana yang bisa tumbuh secara ideal-proporsional? Dan sebagainya dan seterusnya!
Hampir dalam segala bidang kita tumbuh atau lebih tepatnya dipaksa tumbuh untuk mengikuti ‘iklim dan cuaca dunia/global yang sedang berlangsung. Serba online! On di sana, off di sini, dengan berbagai variabelnya. Kembali ke kita, manusianya. Benar-salah, baik-buruk, pantas-jorok adalah cara kita mengkhalifahinya sesuai ruang dan waktunya. Kita sebagai manusia mempunyai kemampuan adaptasi terhadap segala keadaan, tentu saja dengan penuh kerendahan hati kita senantiasa bersandar bahwa kemampuan itu hanyalah pinjaman dari Yang Maha Kuasa, dengan Izin-Nya.
Lantas jika ada “benih” yang tidak tumbuh lantaran iklim atau cuaca tidak mendukung untuk tumbuh dan berkembang, sampai “benih” itu mencapai produktivitas dengan menghasilkan buah atau manfaat: apa yang harus kita lakukan? Atau, adakah kita, manusia bisa beranjak berikhtiar untuk menjadi Pembaharu Cuaca? Kita mengupayakan cuaca, mengolahnya untuk “benih” diri kita masing-masing agar dapat tumbuh dan berkembang di tengah cuaca dan iklim dunia hari ini– menjadi manusia yang berdaulat, manusia nusantara, manusia segala iklim yang otentik, menjadi diri sendiri yang telah ditetapkan oleh-Nya.
“Cuaca sederhana yang diupayakan Maiyah adalah dengan menjadi orang gembira dan membuat orang gembira dengan keberadaan kita. Karena pada cuaca yang gembira, orang akan tumbuh sesuai dengan potensi terbaiknya”.
(Sabrang Mowo Damar Panuluh)