Mukadimah
Ka Luhur Teu Sirungan Kahandap Teu Akaran

“Ka Luhur teu sirungan Kahandap teu akaran”
Peribahasa ini mungkin tidak asing terdengar di telinga kita. Sebab, sebenarnya peribahasa tersebut cukup sering diucapkan oleh para orang tua. Pengertiannya pun beragam. Secara litterjik arti dari peribahasa itu adalah “ke atas tidak berbuah kebawah tidak berakar”.
Namun pengertian dari peribahasa ini umumnya adalah orang atau bangsa yang tidak berakar pada asal muasal ‘jati dirinya’. Maka, dia tidak akan berkembang sedikit pun terhadap ‘kemajuannya’. Sederhananya, hal tersebut bisa dikataan sebagai krisis identitas.
Sebagai contoh di era super globalisasi ini—budaya atau kebiasaan dari belahan dunia luar dengan berbagai macam jenis nya itu—terus menginvasi dengan mudahnya bagai gelombang air bah. Ia tidak akan mungkin terbendung, sehingga implikasi logis dari hal itu adalah munculnya fenomena tren gaya tingkah menjalani hidup. Baik itu urusan sandang, papan, pangan dan lain lain yang akan terus muncul dan mengendap dari setiap generasi ke generasi.
Masih mending jika fenomena itu tidak memusnahkan produk budaya asli sebuah bangsa. Namun pada faktanya hal tersebut kebanyakan malah membumihanguskan produk budaya-budaya adiluhung yang diciptakan oleh leluhur-leluhur kita. Sebagai contoh kecil di Jawa Barat, kita dapat melakukan perbandingan persentase generasi muda yang menguasai atau setidaknya mengenal seni budaya tari jaipong, tari topeng, benjang, alat karawitan, mamaos cianjuran, sumedangan, cigawiran, ciawian, pencak silat buhun, karinding, dengan persentase anak muda yang mengenal produk ala budaya luar bangsa kita.
Kemudian contoh lain permainan tradisional. Permainan tradisional kita sebenarnya sangat kaya. Permainan tersebut memiliki berbagai macam jenis dan bentuk dan juga cara permainan yang berbeda-beda. Ada yang diiringi nyanyian seperti pérépét jéngkol, oray-orayan, jungjaé, sasalimpetan, ada pula yang memakai alat seperti gatrik, peperangan, bebedilan, momobilan, kolecér, dan énggrang. Ada juga yang berkelompok yang seperti galah, sorodot gaplok, ucing-ucingan, dan bebentengan. Bahkan ada yang khusus untuk perempuan, seperti éncrak, simar, congklak, dan banyak lagi.
Dalam naskah Sunda klasik sekitar abad 14-15 yaitu Kitab Siksa Kandang Karesian naskah Amanat Galunggung ada gelar yang dinamakan dengan ‘Hempul’. Hempul adalah sebutan bagi orang yang ahli membuat mainan, sampai pada filosofi mainan dan permainan tradisional tersebut.
Kenapa dalam naskah Sunda sekelas Siksa kandang karesian yang bisa dikatakan cukup berbobot permainan anak disebutkan? sebab perlu diketahui bahwa permainan tak cuma melatih otak, tapi permainan juga melatih rasa. Permainan tradisional tersebut ternyata banyak melatih psikomotorik, psikologis, dan bentuk pedagogi anak yang sangat baik yang melahirkan interaksi semangat dan keceriaan dalam diri manusia.
Hal inilah yang tidak ditemukan dalam permainan modern. Permainan modern lebih banyak diciptakan untuk melatih kreativitas. Selain itu, permainan modern semacam video games malah cenderung bersifat individualis dan memunculkan ego. Tanpa adanya filter. karena tidak punya pegangan terhadap ilmu-ilmu tradisi sehingga tidak mencengkram alam ranah budayanya. Belum lagi, dalam ranah falsafah hidup yang sangat kosmologis alam pikirnya yang lebih menekankan keseimbangan dan kemenyatuan dalam hidup. Hal tersebut kini seolah olah tidak memiliki arti apapun. Yang lebih parahnya lagi di anggap kuno dan ketinggalan zaman.
Dalam ranah Agama pun begitu. Jika kita tidak bertitik pijak pada akar asal-usul jati diri kita dan akar jati diri dari esensi sebuah agama, sudah tentu lahir fatalisme dalam beragama. Seperti banyak kasus-kasus di seluruh dunia yang menyatakan atas nama ‘agama’ untuk menghancurkan sebuah kebudayaan manusia.
Istilah ‘Kaluhur teu sirungan ka handap teu akaran’ juga kemudian ada yang memberikan pengertian bahwa orang yang jahat, julit, dan dengki, tidak akan berkah pada kamajuan secara lahir maupun batin.
Mungkin pengertian istilah di versi ini lebih pada ranah menjaga etika diri dalam menjalani kehidupan.
Well, apapun pengertian diatas tersebut, mesti kita pikirkan dan renungkan secara mendalam kembali. Bahwa memang kita tidak bisa menolak perkembangan zaman tapi kita juga tidak boleh binasa oleh senjata dan sisa limbah pemusnah zaman itu
Secara politis strategis tentu saja hubungan emosional antara generasi sekarang dengan para leluhur kita terputus, apalagi menyangkut perihal jati diri .
Oleh sebab itu, Majelis Jamparing Asih mengajak para jamaah maiyah untuk mendiskusikan bersama, kita Sinaui persoalan-persoalan tersebut agar supaya kita bisa lebih bijak menyikapi dan menghadapi tantangan zaman kedepan nya.
“Pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana,
pakena kerta bener pakeun nanjeur na juritan”
– Wangsitutah Rahyang Niskala Wastu Kencana
Rahayu Tabe pun