SHUT DOWN

(Jamparing Asih Edisi September 2017)

 

Kenapa tiba-tiba shut-down? Apakah JA hanya sekedar berniat menggugurkan atau memenuhi kriteria “trendisitas istilah” agar dapat tergolong ke millenial-term yang sedang menggemparkan dirinya sendiri sekarang ini? Bermacam-macam respon. Sah-sah saja. Itu masih Hak Asasi Makhluk (HAM) kata beberapa.

Stimulus tema sejenis demikian, shut-down, sangat mungkin dan memang berpotensi untuk digali dalam keseharian kita yang telah dibanjiri informasi (information-overflow) dan serba machine serta kebak anasir-anasir elektronik. Bahkan nyaris mendominasi—untuk tidak menyebutnya memperbudak—sebulat-bulatnya kehidupan kita.

Ada perhubungan apa antara shut down yang ber-arti “matikan” atau “pareuman!” dengan shut-up; “diam!” atau “tutup-mulutmu”? Meskipun memang shut sendiri memiliki arti “tutup” tapi asal-muasal kenapa jika disandingkan dengan dua kata singkat yang berlawanan itu, down and up, lantas memiliki makna yang berbeda? Bukan walayah kita untuk mengaji perkara tersebut secara mendalam kecuali jika mentadabburinya.

Untuk permulaan, setulisan mukadimah episode kali ini, Mas Aam memberikan pancingan bahwa yang menarik untuk ditadabburi ialah kenapa sampai lahir kata ‘matikan’. Untuk apa? Kapan tepatnya? Apanya yang perlu dimatikan? Siapa pula yang berkenan menshut-down? Dan masih bisa diperpanjang, diurut-urut lagi.

Serupakah kita dengan benda-benda elektronik yang perlu melakukan hal itu demi menghindari error, blank, hang, dan dulur-dulur wajah korsleting lainnya? Atau justru benda-benda dan peranti elektronik itulah, yang dengan tanpa sengaja, dibikin menyerupai fitrah manusia? Secara bawah sadar, mungkin, manusia menciptakan aneka peralatan ke-mesin-an yang tidak jauh beda dengan mereka (benda-benda berkabel) namun merepresentasikan kecenderungannya: “kebutuhan akan shut-down”.

Jika kita bermimpi ketemu Abraham Maslow, tanyakan, kebutuhan shut down akan diselipkan ke mana dalam tatanan Hierarki Kebutuhan cetusannya? Mungkin ia hanya terkekeh sambil mohon maaf lalu meminta tolong kepada kita agar rela menyeduhkan secangkir kopi doa untuknya.

To Shut-Down, To Refresh

            Satu pertanyaan didenyarkan dari Nanda, mahasiswa UIN: “Apakah pikiran, hati, nafsu, buthn, itu batasannya terletak di mana?” Kebingungannya mewakili beberapa jamaah maiyah JA. Mengoreksi ulang tentang kalimat sedulur papat kelimo pancer. Menyambungkan tali dari kebimbangan tentang rumusan kira-kira mengenai bagian mana yang sekiranya perlu untuk di-shutdown terlebih dahulu.

Tiap diri itu spesial, tanggapan dari Om Teguh. Tidak bisa dibandingkan dengan yang lain. Jibril tidak sama dengan malaikat jenis lain—dengan pusparagam jobdesc masing-masing. Sperma saja tidak sama walau jutaan jumlahnya. Dan hanya satu loh yang jadi. Sidik jari pun berbeda sama sekali. Itulah ciri Kemahaan Allah.

Otomatis, manakah yang musti dishutdown? Jelas kita harus mengkaji, menyelami, untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Kita butuh melakukan itu sebelum pada akhirnya memutuskan titik mana yang akan dipareuman heula. Juga dalam hal proses tersebut, kita memerlukan bantuan orang lain. Sawang-sinawang. Lita’arofu. Agar saling mengenal satu sama lain.

Namun, sebelum merambah lebih jauh, Om Teguh menerangkan sejak mata-mata para jamaah mulai memeram tanya, bahwa yang menjadi akar awal masalah ialah tatkala orang menyamakan dirinya dengan orang lain. Ini pemicu tombol bom waktu untuk sebuah kehancuran. Tambah Om Teguh: temukan shutdown sendiri. Umpamanya, dengan mencari tahu, menggali informasi. Makin lama makin tahu kalau kita nyatanya tidak beda sama yang lain. Muter. Barulah kita berucap, bodoh ya kita ini… baru sadar.

Terpetiklah tanggapan dari Mas Aam, dalam hidup ini banyak pengulangan-pengulangan. Lagi-lagi guru yang mengajak kita untuk meneliti itu dalam setiap ngaji bareng itu Mbah Nun. Tetapi itu persoalan tersendiri. Inna nahnu nazzalna dzikro, innahu lahafidzin. Ayat tersebut sepertinya, dengan i’tikad tadabbur, mungkin wajah lain dari kerinduan-kerinduan kita. Dan rindu perkaranya bukan tentang “mempelajari”, namun “mengalami”.

Berapa banyak ilmu yang mempelajari manusia; psikologi, sosiologi, antropologi, pathologi, dst. Pertanyaannya: kita mengalaminya, tidak? Sadar tidak kalau kita ini manusia? (Nas, abdullah, basyar, khalifah, muslimin, muflihin, dan beragam lain-lain). Era modern yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemajuan, justru menyulut ketidaksadaran dan kemunduran terutama—tentang dirinya sendiri. Peradaban menjadi semakin buram, runyam.

Tak selang lama setelah menikmati selingan perform gitar dari Kang Shofi, Om Teguh mengajak kesadaran diri kembali: ketika zaman kacau, akan ada pembaharu. Selaiknya dalam air keruh akan lahir kerang dengan kilau mutiara di kandungannya. Meski kita diombang-ambing, diserimpung, dikoyak-moyak kekeruhan, nanti aplikasikan shutdown dan hitung-hitunglah output-nya. Minimal, dalam kadar paling rendahnya, kita menjadi manusia. Embel-embel, rumbai-rumbai dan atribusi-tempelan lainnya dishutdown—nanti sesaat masing-masing diri sudah ketemu tempo momentumnya yang tepat. Bahkan akan diketemukan oleh Allah bisa dalam wujud apa saja dan siapa saja.

Senggang waktu, diisilah pandangan Uwa Adi, tentang shut-down yang dibutuhkan dalam upaya menghindari error atau kerusakan. Operating system manusia perlu jeda untuk diistirahatkan. Rehat sejenak dari hiruk-pikuk dunia yang memekakkan telinga dan mata—bahkan jiiwa. Refresh demi membangkitkan energi lagi. Kalau dalam kamera, terminologi lain yang mungkin sama itu ada istilah shutter. Ia memberi kesempatan agar cahaya masuk dan sebagai hasilnya potret akan berwujud nyata. Lebih hidup. Fokus. Karena telah mendapat hidayah.

Kembali disahuti Mas Aam: sepertinya segala sesuatu itu “siklikal”. Daur. Berulang dan mutar. Persoalan kematian, mati usia dini, kenapa ada yang mati bayi? Lantas kapan ia menjalankan kekhalifahannya di bumi? Barangkali dengan mati pun seseorang baru bisa menunaikan misi rahmatan lil’alaminnya. Tapi ini bukan kebenaran mutlak lantas anda akan menyengajakan waktu kematian dengan bunuh diri, misalnya. Silakan cari, jelajahi, dan selami dengan batas kepasrahanmu pada Gusti-Mu masing-masing.[MnW/2017]

***

 

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *