MANUSIA PUASA

(Reportase Maiyah Jamparing Asih 23 Mei 2018)

 

Kesannya memang seperti agak senewen kalau hendak menyinggung tema “Manusia Puasa”. Sementara untuk membedah dimensi ‘puasa’ saja atau ‘manusia’ hungkul—yang masing-masingnya kebak nilai-nilai tak kasat mata plus menyiratkan banyak dimensi (multidimensi) nan variatif—peradaban masa kini yang paling mutakhir sekali pun tetap akan masih merasa kewalahan. Apalagi jika disatukan?

Namun, bukankah perkara kesukaran tersebut menjadi cair dan akan terasa ringan jika didasarkan pada rasa rindu untuk mentadabburi sesuatu—yang segalanya merupakan titipan amanah-Nya? Maka pada Rabu malam Kamis ini (23/5), seusai hadharah-an dan membaca ta’ziz wa tadzlil bersama dipimpin Mas Aam, para pelingkar maiyah JA mencoba mengurai suguhan tema sebisa mungkin dengan pantikan awal dari penulis mukaddimah.

Gus Ulum menyulut mbako untuk lalu mengungkapkan pentafakkuran puasa dalam diri masing-masing; bertanyalah apakah kita sudah pantas menyebut diri atau mengaku puasa? Sedang pemaknaan yang dilekatkan secara bahasa saja, misalnya upawasa dan pasa dalam Jawa yang dikait-maknakan sebagai usaha mendekatkan diri kepada sesuatu yang kita agungkan, yang Maha Lebih Besar (al-Akbar). Itu saja ternyata masih jauh dari kenyataan wajah perangai kita.

Atau dalam term Arab shaum dan shiyam, yang selintas diasosiasi-artikan dengan kata pause, jeda, berhenti, dan menahan. Lantas obrolan diloncatkan Gus Ulum ke tanda tanya lain; sebagai warga Indonesia, kita itu puasa sejak kapan? Timbul suasana hening sejenak. Kata-kata di kepala seperti sedang menghela napas. Muncul suaranya lagi, puasa itu menahan di tengah masa pelampiasan zaman. Me-manage keinginan-keingan. Raut kenyataannya kini, sekarang itu era sedang puasa-puasanya atau malah tengah buka-bukanya?

Gerbang awal abad 21 yang dinamakan globalisasi dulu, atau kini di era hoax ini, kita lebih sering melampiaskan dibanding menahan, kemuka Gus Ulum. Main share tanpa pertimbangan akal dan analisa yang memadai. Puasa ini kan dalam rangka untuk mengelola esensi diri. Apalagi jelas terang Allah, “puasa ini untuk-Ku”.

Di belantara perabacan zaman, orang-orang berebut, berpacu, berlomba-lomba, bersaing tanpa empati sama sekali, dalam menggaet lailatul qadr untuk justru sebagai ajang pemenuhan kepentingan masing-masing—yang cenderung bersifat egosentris. Kenapa tidak kita menjemput “malam seribu bulan” secara bersama-sama demi Indonesia, misalnya? Maka dari pancingan tersebut, di space-und-time masa ini, masih adakah “Manusia Puasa”?

Tapi, sebelum masuk lebih dalam lagi, boleh jadi semua pancingan itu malah sekadar jebakan, trap, trigger, penyekat, dan payung penghalang hujan keberkahan puasa itu sendiri—yang konon merupakan ibadah yang semata-mata untuk Allah dan akan berbicara sendiri kelak? Toh, pada hakikatnya, bila diuraikan semua alam jagat raya ini berpuasa; tumbuhan, angin, laut, dan bahkan Allah pun berpuasa, seperti yang sering diwejangkan Mbah Nun.

 Kemudian setelah diumpan-lambung oleh Cak Iman selaku moderator, Mas Aam pun menambah Intro, “Kenapa kok manusia yang melulu kita bahas?” Lanjutnya, dalam lagu Ebiet G. Ade mengapa alasannya “tanyakan pada rumput yang bergoyang”? Mungkin sekali manusia lah yang sering absen dari matakuliah yang ia ambil sendiri dari SKS yang disuguhkan Allah. Alam semesta tidak pernah absen.

Ini sangat kontra sekali dengan kalamullah yang Allah sendiri memberikannya sayu’tihi ayatallAllah fil afaqi wafi anfusihim. Manusialah yang paling sering dan ter-berani membelakangi—jika tidak disebut mengingkari—sunnatullah. Macan saja masih makan sehari se-kali dan punya daya menahan diri yang otentik.

Selanjutnya kalau ada yang bertanya, kenapa harus puasa? Goda Mas Aam. Poinnya adalah karena hukum itu pasal yang paling lemah. Manusia memerlukan terobosan inner-source yang mampu mengajarinya mengelola hasrat-hasrat. Tuhan bilang, “Kamu, tahan! Sebelum nanti hancur sendiri.”

Juga soal yang membikin Ramadlan istimewa adalah bukan karena ia Ramadlan. Tapi karena ada yang istimewa “di dalamnnya”, kupas Mas Aam. Aslinya, toh semua yang diwajibkan Allah adalah yang tidak disukai, tidak digemari manusia. Padahal di balik itu semua Tuhan tau bahwa jika kita mengumbarnya, maka kita sendiri binasa—mati-nurani, mati-kejernihan intelektual dsb.

Masuklah Nawa memberikan kudapan Interlude, ada yang istimewa dalam Ramadlan, kenapa? Sebab Al-Quran tidak mungkin diturunkan pada orang-orang yang masih terikat oleh dunia. Syahru ramadlana al-ladzi unzila qur’ana hudan linnasi wa bayyinatim minal huda wal furqan. Manusia tantangannya ada tiga (3): harta, tahta, dan asmara. Perut, kepala, dan kelamin. Setelah manusia menahan 3 perintang tersebut, dengan dimadrasahkan terlebih dahulu pada bulan Ramadlan, manusia telah baru layak untuk dipercikkan cahya ayat-ayat Al-Quran. Puasa itulah yang menjadi datangnya cahaya (nur) Al-Quran, dengan penahanan diri atas hasrat-hasrat duniawi yang melenakan.

Secara tidak disadari pun, puasa akan mengoptimalkan shadr. Qala rabbi ishrahli shadri. Manusia puasa itu berbicara manusia yang mendayagunakan secara optimal dan presisi dalam mengolah potensi shadr untuk kompatibel dan connect menerima wahyu Tuhan. Hudan linnasi.

Apabila mengacu pada amtsal, puasa itu bisa belajar dari ayam, sodoran dari Nawa. Terutama saat ayam mengerami telur. Berarti puasa itu ada yang dihidupkan. Anak-anak ayam. Sedang dalam konteks manusia ialah potensi spiritual untuk semakin intim mendekatkan diri dengan-Nya.

Sesruputan kopi, Cak Iman member view lain. Dalam photography, bicara soal angle, sudut pandang saat Ramadlan terhadap jadwal buka warteg-warteg, dan panti-panti yatim sosial, serta jam tayang acara-acara televise, tiba-tiba menjadi ramai, kenapa? Adakah hasrat berebut tadi, hanya demi berlomba dan tergiur akan iming-iming pahala berlimpah, bukan karena benar-benar tulus membantu selain dirinya sendiri? Atau malah Cuma berniat menolong kepentingan dirinya sendiri?

Tibalah Reff, Mep menghidangkan dua nomor; lagu Slank Lembah Balieum dan lalu dilanjutnya shalawatan Lir-Ilir dilengkapi dengan syi’iran burdah. Para jamaah bertemu suasana romantika-nostalgik dilanjut dengan atmosfer khusyuk-takzim oleh nada-nada burdah yang membawakan segenggam ruang sunyi di lubuk jiwa.

Sepertinya kopi tema di depan lingkaran kami ini takkan habi-habis disruput, sebagaimana lagu JA kali ini tampaknya takkan berujung dan mungkin sama sekali tak berniat untuk menuju end atau closing. Barangkali setiap kami pulang membawa PR di ubun-ubun pojok nurani-akalnya sendiri-sendiri. Mari ngopi kembali di pertemuan nanti. [MnW/05-2018]

***


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *