Mukadimah
Kakaren Zaman
Dalam bahasa Sunda, dikenal –dan dituturkan dalam kesehariannya– kata ‘kakaren’. Yakni penyebutan terhadap sisa-sisa kue atau makanan yang disajikan ketika berlangsung ‘pesta pora’ hari raya lebaran. Entah bagaimana kondisi, suasana dan nuansa linguistik terma kakaren itu pertama kali dilahirkan dalam ruang-waktu budayanya. Apakah itu bentuk kerinduan terhadap momentum lebaran atau bahkan sebelumnya, puasa Ramadhan? Ataukah kangen itu hanya sekedar ‘ngidam wadag’, yaitu makanan-makanan itu?
Manusia pada dasarnya pasti lebih menginginkan kenyang ketimbang lapar. Sebab, pasal hukumnya sangatlah jelas. Hukum Puasa (Ramadhan) itu dilansir untuk dijadikan kewajiban atas asumsi dasar bahwa manusia sejatinya tidak suka menahan diri untuk berlapar-dahaga. Lain lagi persoalan tatkala seorang hamba istiqamah mendayagunakan shabr dan syukur-nya untuk mendialektikan kewajiban itu menjadi kepatuhan dan, selanjutnya, peristiwa cinta antara makhluk dengan Sang Khaliqnya. Jadilah ia mencahayakan dirinya dari materi yang membalutnya, karena secara hakiki apa yang tidak merupakan cahaya Allah (nur Allah)!
Akan tetapi, dari masa ke masa, proses sejarah peradaban yang dibangun manusia justru merendahkan atau bahkan menghilangkan ‘cahaya’ kemanusiaannya. Cahaya dimaterikan, esensi atau substansi di-wadag-kan; nilai dinormakan; manusia dimasukkan ke dalam kotak-kotak paket sejarah. Manusia kelimpungan sendiri terhadap apa saja yang dihasilkan oleh dirinya melalui kreativitas intelektualnya, eksploitasi alamnya, pemberpihakan pembangunan ‘manggon’ –tidak ‘mampir’ atas dunia dan dipuncaki dengan penuhanan dirinya sendiri. Berhala-berhala menjadi tuhan-tuhan, dan maha berhala itu tak lain adalah ia atau mereka sendiri.
Adakah nabi, jika diperkenankan Allah untuk diturunkan ke bumi hari ini, akan dipercaya oleh umat manusia yang telah terbiasa memperoleh wahyu, kabar atau warta (an-naba’) dari para nabi uptodate mereka (al-anbiya: media-media cetak dan elektronik, medsos atau internet)? Masihkah mereka kagum dan meyakini mukjizat atau karamah di saat mereka sudah tidak lagi takjub dengan sedekah yang dilakukan oleh sesama mereka yang tulus lagi karim? Bahkan tak lagi peduli terhadap kedahsyatan penjajahan yang menimpa mereka? Atau memang benar adagium, bahwa: semakin canggih penjajahan, semakin yang dijajah merasa sedang tidak dijajah. Maka tak heran jika para penjajah diangkat sebagai juru penyelamat; pengkhianat dijunjung-junjung sebagai pahlawan; dan seterusnya.
Ieu teh kakaren zaman. Inilah sisa-sisa atau akhir zaman! Apa tafsirmu mengenai sisa-sisa? Selalu burukkah sisa itu? Sehingga hampir banyak orang tak mau atau berkenan bila kita memberinya makanan sisa atau ‘sisa-sisa’ yang lain. Pada saat yang sama, kita pun juga akan berpikir ulang untuk menghibahkan barang milik kita yang sisa itu kepada orang lain. Mengapa akhir acapkali dipotret sebagai momentum, ajal dari ending-nya sesuatu? Akhir, sadar atau tidak sadar, kita proyeksikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan dari situasional kita masing-masing. Jika kesenangan atau kemudahan hidup menyapa kita, misalnya, akan bersikukuh kita mengucap doa: semoga ini takkan [cepat] berakhir. Sebaliknya, bila yang kita pandang sebagai kesengsaraan atau kesulitan datang melanda, kita pun lantas ngoyo untuk sesegera mungkin mem-propose kalimat: Tuhan, mohon cepat akhiri semua penderitaan ini! Lalu, indah atau jorokkah mengumpulkan kakaren yang dibuang orang untuk di-daurah-kan kembali sesuai dengan hak dan kewajibannya? Tak relakah kita untuk mengkhalifahi bahwa –yang dianggap saudara-saudara kita yang lain sebagai– penderitaan itu seyogianya merupakan setoran dari perjuangan kita? Sebab, tak menutup kemungkinan bahwa pendaran mukjizat, karamah, dan ma’unah itu memantul kepada orang-orang yang bersedekah dengan kakaren di tengah-tengah puncak zaman pencurian, perampokan, dan penjajahan.
Adakah kemungkinan kita mampu pelan-pelan merangsak naik untuk mensimulasikan bahwa akhir adalah awal, awal adalah akhir? Ah, siapa kita! Tetapi, bukankah jauh-jauh hari, Sang Kekasih-Nya, Muhammad Saw—yang kita belum sanggup dan berani benar-benar mengikutinya—berkata: …“Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman kepadaku tetapi tidak pernah berjumpa denganku. Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka”.
Gedhe rumongso-lah kita bila tak kunjung menguak titik mizan di antara gradasi ilmu dan rindu. Bukan Ilmu, Tapi Rindu. Ah, kakaren zaman, entahlah!
Mari melingkar, dalam bingkai Segitiga Cinta!