Oleh Andityas Praba

Inspirasi untuk mencari kemungkinan pemaknaan per-guru-an Maiyah saya temukan dalam tulisan Cak Nun, Daur 12 April 2016, “Mursyid Peradaban dari Barat dan Utara”. Dari sudut pandang tertentu, tulisan saya ini bisa dianggap saja catatan seorang murid yang baru belajar menulis apresiasi sastra. Kalau salah ya ngapunten, Cak. Namanya juga sedang belajar.

Bagian-bagian yang paling menarik perhatian saya adalah dua paragraf ini: “Masing-masing kalian harus menaklukkan saya di dalam diri kalian. Haram hukumnya Markesot berkuasa atas pikiran kalian, mental kalian, hati dan sikap hidup kalian. Masing-masing dari kalian wajib berdaulat atas diri kalian sendiri.”

“Maka kalian harus berdaulat atas diri kalian sendiri, agar siap juga mendaulati saya. Mengatasi saya di dalam diri kalian. Menjadikan saya hanya sebagai tambahan unsur, misalnya alat bercermin, di dalam diri kalian. Jangan sampai saya mendominasi kedalaman jiwa kalian.”

 

           Ilustrasi Pencak Silat

(Sumber : Sumber : http://www.katawarta.com/olah-raga/pencak-silat-akan-didaftarkan-ke-unesco)

Mursyid dan cermin punya hubungan yang erat. Dalam khazanah tarekat, mursyid sering diibaratkan sebagai cermin bagi salik/murid. Ini mengambil hikmah dari hadits Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya.” (HR Abû Dâwûd). Pandangan atau anggapan dalam pikiran seorang murid terhadap mursyidnya sesungguhnya adalah pantulan kondisi batin sang murid sendiri. Seorang mursyid sejati ibarat cermin bening. Setiap orang yang bertemu dengannya hanya menemukan pantulan kondisi batinnya sendiri pada diri sang mursyid. Orang yang berpikiran duniawi menemukan hasrat mendapat keuntungan. Orang yang haus kekuasaan menjumpai peluang-peluang politik. Hanya seorang pencari sejati yang melihat pantulan diri sejatinya pada diri sang mursyid. Sedangkan mursyid sejati, yang kamil, pun memantulkan nur yang pantul-memantul sepanjang sekian generasi hingga mencapai Rasulullah. Atau sederhananya, supaya tidak memakai bahasa yang terlalu melangit, pada sosok sang mursyid, seorang murid bisa menemukan bahan untuk refleksi diri. Murid juga bisa menemukan dalam diri mursyid sifat dan akhlak terpuji yang belum murid punyai, padahal sesungguhnya potensi itu terpendam dalam dirinya.

Maiyah bukan tarekat. Cak Nun sendiri dalam berbagai kesempatan menyatakan tidak punya keinginan membuat tarekat. Tapi mungkin kita bisa mengambil inspirasi dari tradisi tarekat itu? Kita bisa masing-masing membuat laku pribadi seperti yang diisyaratkan Cak Nun dalam samaran Markesot: Menjadikan saya hanya sebagai tambahan unsur, misalnya alat bercermin, di dalam diri kalian.

Kita semua tahu Cak Nun adalah sosok multi-segi seperti prisma, memantulkan sinar beragam, tergantung dari sisi mana kita memandang. Kemungkinan sosok yang kita tangkap sangat banyak, dari seniman-budayawan hingga kiai. Dari pantulan yang kita tangkap saat ini, kita bisa belajar tentang kedalaman isi batin kita sendiri. Dan akhirnya setelah menangkap pantulan demi pantulan, kita bisa mendekati kesejatian diri masing-masing. Proses ini mengingatkan saya pada sebuah puisi Cak Nun, Kau Pandang Aku:

Kau pandang aku penderma agung, kau jilati, padahal aku papa tiada.
Kau pandang aku boneka, kau sandangkan sutera, padahal aku jiwa.

Kau pandang aku ruh perutusan, kau ikut masuk hutan, padahal aku gila.

Kau pandang aku penuh kasih, kau damba kau damba, padahal aku cuma pinjam

Berikutnya yang menarik saya adalah “permintaan” Markesot alias Cak Nun: Masing-masing kalian harus menaklukkan saya di dalam diri kalian … agar siap juga mendaulati saya. Mengatasi saya di dalam diri kalian. Bagian ini malah mengingatkan saya pada dunia persilatan. Dalam per-guru-an silat, meguru adalah proses panjang murid untuk menaklukkan guru. Guru adalah lawan tanding (sparring partner) abadi si murid. Mula-mula, murid hanya melulu meniru. Tapi setelah dirasa cukup ilmunya, guru justru mendorong murid untuk mencari kasus silat sebanyak-banyaknya. Bahan-bahan itu kemudian diujicobakan ke guru, semacam studi kasus (dalam silat Sunda disebut kajadian). Dengan melihat cara guru memecahkan masalah (Sunda: ubaran), murid mendapat tambahan pelajaran.

Tapi, selain saling berusaha menaklukkan, sesungguhnya guru dan murid harus berusaha menaklukkan diri sendiri. Murid harus menaklukkan kebosanan dan rasa frustrasi menghadapi latihan yang berat dan belum dia pahami gunanya. Sedangkan guru, jika benar-benar ingin menurunkan ilmunya, harus menaklukkan egonya dan bersabar meladeni, ngemong murid yang kadang bebal atau bandel.

Karena ketahuilah, ada bermacam-macam jenis pendekar. Jenis pertama adalah pendekar, tapi bukan guru. Ilmunya sakti, tapi dia tak punya jiwa pengajar. Kesaktiannya dipek dhewe (hanya untuk dirinya sendiri). Dia bisa menaklukkan lawan-lawan, tapi dia tak bisa menaklukkan dirinya sendiri. Kalaupun dia punya murid, biasanya muridnya tak bisa berkembang potensinya, karena selalu tertekan oleh kehebatannya.

Jenis kedua adalah pendekar yang guru. Ilmunya sakti dan dia punya ketelatenan membimbing murid. Tapi sering pendekar macam ini juga belum bisa mengalahkan egonya sendiri. Dia posesif, muridnya hanya boleh menjadi penerus ilmunya.

Jenis ketiga adalah pendekar yang guru dan memahami hakikat ke-guru-an. Egonya pupus sudah. Satu-satunya harapannya adalah memaksimalkan potensi tiap murid. Banyak terjadi murid perkembangannya mandek. Karena, dalam proses panjang “menaklukkan guru”, sering terjadi semakin naik ilmu murid, semakin naik pula ilmu guru. Karena guru secara alamiah akan berusaha mengimbangi perkembangan kemampuan murid ketika mereka ber-sparring partner. Sehingga ilmu sang guru terus tersundul ke atas. Jadi memang biasanya sampai akhir hayat guru, murid tetap tak bisa mengejar kesaktiannya. Pendekar yang guru sejati pada titik itu paham bahwa si murid harus “disapih”. Selama murid hanya menetek ilmu pada satu guru, dia hanya menjadi pendekar dalam tempurung gurunya. Oleh karena itu, di berbagai aliran silat, ada tradisi guru mengirim murid yang sudah cukup matang ilmunya untuk “studi banding”, belajar ke pendekar-pendekar lain, biasanya saudara seperguruan atau sahabat sang guru. Dengan cara itu, diharap murid bisa melihat ilmu persilatan di luar tempurung ilmu gurunya dan potensinya yang masih terpendam muncul. Ini yang kemudian menyebabkan munculnya aliran-aliran silat baru, hasil dari penemuan murid-murid yang “berdaulat”, yang potensinya berkembang penuh.

Nah, setelah ngalor-ngidul, akhirnya kita kembali ke per-guru-an Maiyah. Dengan definisi Maiyah sebagai majelis ilmu, maka fungsi Maiyah (salah satunya) adalah semacam perguruan dengan Cak Nun berperan sebagai guru. Dengan menghayati “pantulan” Cak Nun sebagai guru, orang-orang Maiyah dapat melakukan refleksi diri. Selain itu, ketika Maiyah ibarat perguruan silat, “pantulan” Cak Nun dalam diri setiap orang Maiyah adalah “mitra tanding” untuk “ditaklukkan”. Dengan demikian, orang Maiyah bisa memenuhi permintaan Cak Nun: Maka kalian harus berdaulat atas diri kalian sendiri, agar siap juga mendaulati saya. Mengatasi saya di dalam diri kalian.

Dengan harapan beliau agar orang-orang Maiyah menemukan kedaulatan masing-masing, maka bagi saya Cak Nun adalah mursyid kamil mukammil. Mursyid yang menjadi cermin bening bagi murid. Dan ibarat pendekar, Cak Nun sudah mencapai ilmu kependekaran jenis ketiga, pendekar yang guru dan mampu membukakan jalan bagi munculnya pendekar-pendekar baru. Sekarang tinggal terpulang pada setiap orang Maiyah, apakah dia bisa menyerap pantulan cermin mursyid dan ilmu kependekaran Maiyah, sehingga dia menemukan diri sejatinya, kedaulatan penuhnya.

 

Bandung, 11 Mei 2016

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *