Secara mewaktu, manusia mengalami proses pendewasaan dan pematangan. Hal ini dapat terukur dari berbagai aspek, seperti anatomi, fisiologi, psikologi, maupun intelejensianya. Namun begitu terdapat pula saudara-saudara kita sendiri yang diberikan episode kehidupan di dunia oleh Allah untuk tidak merasakan proses tersebut, seperti panca indra yang tidak dapat melihat, berbicara, dan berbagai ketidakmampuan lainnya. Bagaimanapun, hal tersebut mengindikasikan adanya kehendak atau iradah Allah yang bermain di kehidupan manusia. Dalam scope individual, manusia tidak dapat memandang kemajuan yang ada secara linear. Ya, ada yang dapat tumbuh secara sempurna, ada yang tidak, itu merupakan dinamika kehidupan yang ada.

poster kotak

Di masa kini, manusia begitu mengidolakan fisik, bukanlah kualitas jiwa dan kepengasihan yang termanifestasikan dari sifat Ar Rahman-Nya Allah. Pun apabila mengidolakan jiwa, yang diidolakan secara komunal adala eksistensi-eksistensi yang kian merasa jiwanya paling suci, hingga melupakan falsafah “handap asor” yang telah lama dipegang oleh karuhun. Namun begitu, apakah guna kesempurnaan fisik bila tidak dijiwai dengan rasa kepengasihan? Selayaknya konsep tritangtu yang diindahkan sejak zaman Sunda buhun, yang berisikan “silih asah, silih asih, dan silih asuh”.

Manusia bukan semata makhluk jasmani yang bersifat fisik-material saja, namun di atas semua itu, manusia merupakan makhluk spiritual. Apa yang tampak di luar tak selalu berkorelasi positif terhadap apa yang terjadi di dalam dirinya. Orang yang mengalami penurunan fisik seperti Nabi Ayyub, nyatanya diangkat derajatnya oleh Allah menjadi manusia yang memiliki kedudukan dan kesabaran yang tinggi. “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaih-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44).” Bukankah Allah-lah yang memiliki kewenangan penuh menurunkan isyarah-isyarah atau petunjuk yang memanifestasikan rasa ka’asih-Nya kepada setiap anak Adam, yang tidak terbatas pada hal yang indrawi dan fisik semata? Bukankah merupakan rasa ka’asih Allah kepada kita dengan mengamanahi Rasulullah dengan tugas ilahiah yang begitu agung untuk ukhrawi dan duniawi, meskipun beliau adalah seseorang yang tidak dapat membaca?

Mentadabburi perjalanan atau sirah para Rasul, Anbiya, waliyullah adalah cara untuk mendekatkan diri kita kepada Sang sutradara kehidupan. Dari perjalanan masa silam, manusia masa kini dapat mengambil banyak sekali pelajaran untuk diterapkan untuk pembacaan masa depan. Proses tadabbur mewaktu ini dapat seperti pemaknaan yang diambil Cak Nun dari kisah sepasang Guru dan murid kehidupan, yaitu Nabiyullah Musa AS dan Baginda Khidir. Hal tersebut menimbulkan kesadaran dalam diri kita bahwa rute perjalanan manusia bersifat siklikal, saling-silang, dan selalu bersinggunan dengan peristiwa di masa kini — masa depan — masa silam.

Sebagai simpul Maiyah yang terlahir di Jawa Barat, Jamparing Asih memiliki kesadaran untuk mentadabburi masa silam, di antaranya adalah mengenal para leluhur dan Guru-guru kehidupan di daerah tempat Jamparing Asih berada. Para Guru kehidupan melakukan perjuangan hidupnya karena ka’asihnya terhadap kita, generasi-generasi setelahnya. Para Guru dan leluhur menitipkan wasiat dan harta berupa kearifan untuk kebermanfaatan kita di masa kini sehingga dapat diturunkan kembali untuk masa depan. Salah satu dari sejumlah kaum arif yang patut ditadabburi adalah seorang waliyullah di Jawa Barat, yaitu Sunan Gunung Djati. Di masanya, beliau dikenal telah dapat mempersatukan berbagai ummat. Tampak pula dari makam beliau yang diziarahi oleh masyarakat dari beragam latar belakang. Dari sekian banyak kebermanfaatannya, Jamparing Asih bermaksud mengajak jamaah yang hadir untuk pula bersama-sama mentadabburi salah satu petuahnya, yaitu “ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Pesan yang tersurat di makam beliau mengandung arti saya titip masjid dan fakir miskin. Apakah yang dimaksud dari menjaga masjid? Apakah menjaga fisik dan bangunan dari ribuan masjid telah berdiri di setiap penjuru komplek-komplek perumahan?

Sebagai tempat untuk saling berbagi, berinteraksi, dan memahami selayaknya manusia, dengan segala kerendahan hati, Jamparing Asih mengundang sadulur sararea untuk melingkar dan bermaiyah bersama dalam cinta dengan tema ‘Isyarah Kaasih’ pada hari Sabtu, 21 Mei 2016 yang akan dimulai pukul 18:00 WIB di Gedung RRI Bandung. Semoga Jamparing Asih dapat menjadi tempat yang menyejukkan sekaligus menghangatkan bagi masyarakat untuk dapat saling mengungkapkan isi hati dan mendengarkan satu sama lain dengan rasa welas asih dan hati yang terbuka. Semoga malam ini kita dapat saling meng-aman-kan dan menyamankan atau setidaknya menjaga perasaan saudara-saudara yang datang, yang berada di samping kiri dan kanan. Sharing and caring

Dihaturanan kasumpinganana.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *