oleh Wawan Gunawan

Sebetulnya nama saya Marni, meski teman-teman di kota lebih mengenal saya sebagai Verra. Tante Yati yang pertama kali memberi nama itu. Katanya, kalau hidup di kota, nama pun harus disesuaikan. Memang dialah yang paling berperan hingga membuat saya terdampar di Kota A. Jadi maklum saja, kalau ia merasa sangat bertanggung jawab atas segala hal tentang saya; perilaku, penampilan, pakaian, tak terkecuali nama. Nama pun jangan asal pake, katanya lagi, semua harus nampak seksi dan komersil. Saat ia bertanya apa ada ide, saya hanya menggeleng kepala. Selain tidak pernah tahu nama bagaimana yang dimaksud itu, maunya sih saya menurut saja. Karena saya sadar Tantelah yang akan menjadi tumpuan nasib saya selama nanti hidup di kota. Jadi tidak boleh macam-macam.

“Pokoknya setelah nanti tante ngenalin sama dunungan (majikan —red) disana, you bilang saja namamu Verra”, ujarnya saat bis baru saja melaju meninggalkan dusun kami, Kampung B. Dan saya hanya mengangguk. Tetapi tanpa terasa, air mata perlahan telah mengucur di pipi. Tante Yati kemudian mengusapnya setelah ia memeluk dan membenamkan kepala saya ke dadanya. Sesekali ia belai rambut saya, hingga saya seperti merasakan lagi usap lembut dari kasih seorang ibu, yang sudah sekian lama dipanggil Yang Kuasa.

“Sudah, sudah… toh hidup seperti ini sudah menjadi pilihan kita. Lagi pula, kita melakukannya karena keadaan yang memaksa. Kamu juga kan ngerasain, kalau tidak begini kita semua akan ko’it. Apa kamu tega, terus-terusan melihat anak kamu makannya seperti itu! Belum lagi mereka juga butuh sekolah, butuh pakaian…” setelah sejenak menarik nafas, Tante Yati meneruskan, “Biar kita saja yang menjadi korban, jadi tumbal bagi kebahagiaan hari depan mereka. Siapa tahu diantara anak-anak kita bakal ada yang jadi jenderal, berguna untuk bangsa dan negara. Tuh, hebat kan dari orang-orang yang bekerja seperti kita ini, bisa lahir pengurus negara yang semoga jujur, adil, dan… “

Dan isak tangisku semakin deras. Tante menciumi ubun-ubun saya. Selintas kata-katanya seperti benar, tetapi nuraniku tetap mengalami ganjalan. (sebab sesekali bayangan wajah emak kerap muncul, seolah mengajakku untuk mengurungkan niat, kerja di kota B).

Saya bingung, apakah saya harus berterima kasih atau membenci Tante Yati. Pasalnya ia lah yang selalu bersedia menolong saya dalam berusaha lepas dari kemelut. Dan ia juga lah yang sekaligus mengantarkan saya untuk terjerumus pada pekerjaan seperti sekarang ini.

“Aku tidak memaksa lho…” katanya suatu sore saat saya meminjam beras dan uang untuk yang kesekian kalinya, entah. “Tapi kan hutangmu bukan sama eceu aja. Hutang-hutangmu pada para rentenir itu akan terus berbunga hingga lama-lama akan mencekik kamu sama anak-anakmu sampai ko’it” bicaranya santai saja, datar tanpa tekanan. “Hutangmu padaku anggap saja selesai, kita kan sudah lama tetanggaan.” Kemudian ia menepuk-nepuk bahu saya dan menyuruh saya segera pulang, biar berpikir lebih jernih di rumah.

Untuk kali ini ia memberikan pinjaman tiga kali lebih besar dari biasanya. Belum habis saya melongo, segera ia mengatakan, itu dianggap lunas juga, asal saya mau ikut kerja begitu. Meledak rasanya dada ini, ketika 3 hari kemudian harus memutuskan “ya” kepada Tante Yati. (terbayang lagi wajah emak mengiris-iris batin, tetapi aku sangat sadar susu si bungsu tidak dapat dibeli dengan ratusan bayangan wajah emak).

Dan yang selalu memperkuat tekadku untuk kerja begitu di kota B adalah setiap melintas bayangan roman muka Rahidi, mantan suamiku. Saat matanya merah penuh dendam mengacak-acak isi lemari, setelah sebelumnya menjedotkan kepala saya tiga sampai empat kali ke tembok sebelah risbang peninggalan emak. Ia mencari surat tanah untuk membayar utang kalah judi. Sementara ketiga anak-anak melengkingkan tangis menahan lapar, sedari pagi.

Jeritnya semakin keras, dan aku terhentak saat Rahidi membanting botol minumannya ke kaca lemari. Kata-kata manisnya dulu dalam mengumbar janji selagi pacaran, kini telah kuanggap sampah. Kabar dari masyarakat bahwa ia sering gonta-ganti perempuan terbukti. Saat aku mendesak minta penjelasan, ia meninjuku hingga memar, tulang rahang. Tak tahan disakiti aku pun minta cerai. Punya suami atau tidak, sama saja; susah.

Hampir setahun aku menjanda. Batinku sedikit legang. Paling tidak geram pada Rahidi sudah terusir jauh. Tetapi secara materil aku payah. Mula-mula aku kerja; mencucikan baju tetangga, atau mencari jukut-jukut untuk makanan domba Pak Mardi. Atau jika lebaran cina, ikut berburu berebutan membersihkan kuburan-kuburan para pembesar turunan Tionghoa. Dari semua itu hasilnya lumayan. Namun, lama-lama kebutuhan semakin membengkak. Anak pertama harus masuk SD tahun ini. Anak kedua sakit-sakitan, sedang yang ketiga, sial air susuku beku, sehingga harus pakai susu kalengan. Mahal juga. Sedang ayahnya pergi setelah perceraian itu, entah kemana.

Syarat untuk hidup kian meningkat, semua barang sudah habis terjual. Pinjam sana-sini sudah terlalu malu. Akhirnya dengan berat hati, kuputuskan ikut Tante Yati. Kerja begitu di kota B. Walaupun pada mulanya sering kali dek-dek-an, (kata tante itu biasa bagi pemula) tetapi kerja begitu berpenghasilan lebih dari sekedar cukup. Sri adikku, yang kutitipi anak-anak di desa secara berkala kuberi uang yang lumayan banyak, bahkan untuk ukuran orang desa yang sudah berkeluarga. Yang paling besar masuk sekolah SD Favorit di kampung sebelah yang sedikit lebih maju. Kedua adiknya tampak lebih montok, kulihat dari foto terakhir yang dikirimkan Sri.

Untuk setahun pertama aku tak pernah pulang. Setelah itu, hanya enam bulan sekali saya menjenguk anak-anak di desa. Itu pun paling dua – tiga hari tinggal di rumah. Jika kelamaan dunungan suka marah. Katanya mengurangi etos kerja komunal, dan juga suka ada konsumen yang kecewa, kalau saya tidak di tempat. Kecuali jika tak tahan kelewat kangen, diam-diam pergi dari tempat kerjaku dengan alasan mencari order baru di luar dalam rangka perluasan jaringan. Padahal aku pulang. Lamanya perjalanan, hanya menyisakan waktu buatku paling satu jam-an. Lumayan, cukup untuk sekedar melepas rindu dengan anak-anak.

“Sebetulnya ceuceu teh kerja apa sih di kota? Kok sibuk pisan” suatu hari Sri bertanya. “Semacam jualan, memenuhi kebutuhan masyarakat kota,” jawabku. Setelah itu biasanya pembicaraan kualihkan, demi menjaga pertanyaan yang lebih menyeliksik.

***

Tanpa terasa, sudah hampir lima tahun saya kerja begitu. Bayangan emak sudah lama kerap tak muncul lagi. Mungkin beliau marah. Persoalan restu.

Sudah delapan bulan ini saya tak pulang ke desa. Besok, puasa hari pertama. Ramadhan kali ini kurasakan berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya selama aku kerja di Kota B ini. Entah kenapa. Ingin rasanya pulang, meninggalkan kerja begituan, hidup seperti dulu lagi, berkumpul dengan keluarga, tarawih bersama, kembali mendekati Tuhan. Tapi sekarang sudah berbeda, maukah Tuhan menerima saya kembali?

littlechildren

“Anakku, Kemahasucian Tuhan tidak pernah terkotori oleh kenistaan hamba-Nya. Kasih sayang-Nya lebih besar dari murka-Nya,” tiba-tiba ingatan saya tertuju kepada rekaman suara emak, yang sering mengucapkan hal itu. Saya terhentak, bayangan emak yang sudah lama tak muncul itu, kini hadir lebih jelas dari yang dulu-dulu. Ini bagai nyata. Di matanya seperti ada air mata yang sengaja ditahan untuk tumpah. Sedang aku tak lagi kuasa menahan tangis. Kugapai ia. Dalam pangkuannya aku meraung, memohon ampun. Serasa tangan lembut itu mengusap-usap kepalaku. Hingga akhirnya aku tersadar, ini halusinasi. Tapi mungkin juga itu isyarat.

Perasaan ini semakin kuat. Hasrat kerinduan kepada kampung kelahiran semakin menebal. Aku ingin mengawali bulan puasa ini bersama anak-anak.

“Aku harus pulang, aku harus pulang” bisikku dalam hati. “semuanya harus disudahi.”

Aku lari dari tempat kerjaku, di kota B. Segala risikonya sudah aku pikirkan. Yang penting sekarang rinduku lunas.

Kembali kuhirup udara desa. Terasa lagi suasana kampung, yang jauh dari bising. Tak hentinya kuciumi anak-anakku. Nanti malam kita tarawih bersama.

***

Perasaanku tak jelas. Mungkin terharu, saat melihat ternyata Rahidi yang menjadi imam tarawih. Kata Sri, enam bulan yang lalu ia kembali ke desa ini. Ia telah berubah. Sehari-harinya tinggal di mesjid. Hingga masyarakat mempercayainya untuk menjadi salah satu pengurus DKM. Selama ini sudah dua kali ia sindang ke rumah, menjenguk anak-anak.

Mendengar kabar ini saya gembira. Walau sedikit kesal, kenapa Sri tak pernah mengirimiku surat tentang hal ini. Mungkin untuk menjaga perasaanku. Sudahlah, yang penting sekarang saya merasa ada teman dalam bertobat. Setelah selesai salat, bersama Sri dan anak-anak saya menghampirinya. Sementara jamaah banyak yang masih belum bubar. “Kang… “ aku menyapanya. Tetapi tak kuduga, ia malah memakiku, menyebut bahwa aku telah membesarkan anak-anak dengan uang haram. Kepada orang banyak ia ceritakan apa kerjaku di kota B. Aku juga heran, dari mana ia tahu pekerjaanku.

Kalau boleh dan pantas aku sakit hati diperlakukan begitu. Dan hal yang paling melukaiku adalah; saat sebagian orang dengan air sabun mencuci karpet tempat dimana aku tadi shalat.Air ludah Rahidi yang sudah meluncur menyentuh pipiku, kuusap dengan tangan dan kembali kugosok-gosokkan ke seluruh mukaku. Semoga air ludah orang suci ini, mampu membersihkan segala kekotoranku. Karena menurutnya, aku najis. Baiklah, aku najis. Lalu kalian apa?

Bandung, 2004

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *